BerandaHits
Rabu, 1 Agu 2023 09:31

Meski Indah, Fenomena Embun Es di Dieng Bikin Petani Resah

Fenomena embun es di Dieng menarik perhatian wisatawan. (VOI/Antara)

Fenomena embun es di Dieng, Jawa Tengah memang menarik untuk dilihat secara langsung. Apalagi suhu udara di sana bisa mencapai titik beku. Sayangnya, bagi petani lokal, fenomena yang dikenal dengan istilah embun upas ini bisa bikin tanaman-tanaman yang mereka rawat mati.

Inibaru.id – Karena Indonesia nggak mengenal musim dingin, fenomena suhu mencapai titik beku bahkan minus tentu bikin heboh. Hal inilah yang terjadi di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Dalam sepekan belakangan, suhu di sana sangat dingin hingga menyebabkan kemunculan fenomena embun es.

Menurut keterangan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dieng Sri Utami, sampai Senin (31/7/2023), suhu di Dieng terus mencapai titik beku dalam beberapa hari belakangan.

“Iya, sudah 6 hari berturut-turut embun es terjadi di kompleks candi,” terang Sri sebagaimana dilansir dari Detik, Senin (31/7).

Suhu dingin yang menusuk tulang dan fenomena embun es yang membuat hamparan rerumputan di sekitar candi seperti bersalju tentu menarik perhatian masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan suhu panas sepanjang tahun. Dampaknya, pada akhir pekan lalu, Dieng sampai dikunjungi lebih dari 10 ribu wisatawan. Padahal, pada akhir pekan, biasanya hanya sekitar 7 ribu sampai 10 ribu pengunjung yang datang.

Dinanti Wisatawan, Dikeluhkan Petani

Sayangnya, fenomena embun es di Dieng juga bikin tanaman kentang mati. (Travelingyuk/Tri Vevandi)

Sayangnya, di balik keindahan fenomena embun es yang menarik perhatian wisatawan, banyak petani lokal yang resah. Soalnya, embun es ini ternyata bisa bikin tanaman yang sudah dirawat dengan sepenuh hati oleh para petani jadi mati. Hal inilah yang dikeluhkan salah seorang petani setempat, Suwandi.

“Kalau embun esnya tebal, bisa layu semua, mati tanaman kentang. Apalagi kalau sudah berumur 50 hari,” ceritanya sebagaimana dilansir dari Suara, Senin (31/7).

Yang lebih bikin resah, kalau menurut kebiasaan pada tahun-tahun sebelumnya, embun es pada bulan Juli bisa dikatakan masih tipis. Kalau pada bulan Agustus, suhu saat dini hari lebih dingin dan embun es yang terbentuk semakin tebal. Pada saat itulah, pasti banyak tanaman kentang yang mati.

Lantas, apakah nggak ada antisipasi yang dilakukan para petani agar tanaman kentang bisa terselamatkan? Kalau menurut Kepala Desa Dieng Kulon Slamet Budiono, sebenarnya sih sudah ada, Millens.

“Yang pertama tanaman ditutupi dengan kantong atau jaring agar nggak terkena embun upas (istilah lokal embun es di Dieng). Tapi hal itu berarti harus nambah biaya lagi. Selain itu, kami bisa menanam tanaman gelonggong di antara tanaman-tanaman kentang. Harapannya agar embun esnya cuma sampai di tanaman gelonggong itu,” ungkap Slamet sebagaimana dikutip dari Suara, Selasa (25/6/2019).

Meski petani sudah ada solusi mencegah tanaman mati karena embun upas, tetap saja hal itu kurang efektif. (Liputan6/Muhammad Ridlo)

FYI, aja nih, tanaman gelonggong punya tinggi sekitar 2,5 meter. Jarak tanaman ini dengan tanaman kentang sekitar 30 sentimeter saja. Logikanya, seharusnya embun es hanya akan mencapai tanaman tersebut dan nggak sampai turun ke tanaman kentang. Meski begitu, cara ini kurang efektif jika embun esnya sangat tebal. Kalau sudah begitu, pasti akan menyentuh tanaman kentang dan membuatnya mati.

Sebenarnya, ada juga cara lain, yaitu melakukan penyiraman pada embun es yang mulai terbentuk. Tapi, cara itu butuh usaha ekstra karena petani harus bangun pada dini hari dan menghadapi suhu udara yang bisa saja lebih rendah dari 0 derajat Celcius.

“Iya sebenarnya embun upas bisa disiram jadi bisa mencegah tanaman layu. Tapi hal itu berat dilakukan karena kami harus melakukannya pukul 03.00. Waktu itulah embun upas mulai terbentuk,” jelasnya.

Hm, semoga saja ada solusi lain yang lebih efektif untuk menghadapi fenomena yang datang setiap tahun ini, ya! (Arie Widodo/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024

Menyusuri Perjuangan Ibu Ruswo yang Diabadikan Menjadi Nama Jalan di Yogyakarta

11 Nov 2024

Aksi Bersih Pantai Kartini dan Bandengan, 717,5 Kg Sampah Terkumpul

12 Nov 2024

Mau Berapa Kecelakaan Lagi Sampai Aturan tentang Muatan Truk di Jalan Tol Dipatuhi?

12 Nov 2024

Mulai Sekarang Masyarakat Bisa Laporkan Segala Keluhan ke Lapor Mas Wapres

12 Nov 2024

Musim Gugur, Banyak Tempat di Korea Diselimuti Rerumputan Berwarna Merah Muda

12 Nov 2024

Indonesia Perkuat Layanan Jantung Nasional, 13 Dokter Spesialis Berguru ke Tiongkok

12 Nov 2024

Saatnya Ayah Ambil Peran Mendidik Anak Tanpa Wariskan Patriarki

12 Nov 2024