Inibaru.id – Setiap negara atau bahasa memiliki umpatannya sendiri-sendiri. Kalau di dunia internasional, umpatan khas Rusia sering jadi meme dan guyonan. Nah, kalau di Indonesia, umpatan “anjing” atau “asu” cenderung sangat sering dipakai.
Umpatan ini sering diucapkan tatkala sudah merasa sangat jengkel, marah, atau frustrasi. Menariknya, kalau ditilik, arti dari “asu” ataupun “anjing” ini justru merujuk pada hewan yang dikenal setia dan nurut dengan manusia. Lho, kalau baik, kok malah jadi umpatan, ya?
Umpatan “asu” dikenal di kawasan berbahasa Jawa seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, dan sekitarnya. Meski begitu, seluruh orang Indonesia tahu arti dan kasarnya umpatan ini. Hanya, di kawasan Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan daerah lain, umpatan ini diubah menjadi “anjing” atau turunannya seperti “anjay”, “anjir”, dan lain-lain. Tapi, rujukan dari umpatan itu sama, ya hewan anjing sahabat manusia itu.
Lantas, kok orang Indonesia tega menjadikan hewan peliharaan ini malah jadi umpatan yang kasar? Nah, berdasarkan penelitian yang dilakukan Ho-Abdullah dan diterbitkan pada 2011, umpatan “anjing” atau “asu” ini sudah dikenal masyarakat Tanah Air selama berabad-abad. Bahkan, tercatat sudah ada 35 peribahasa dengan kata “anjing” yang dianggap sebagai perumpamaan dari sifat atau perilaku manusia.
Ho-Abdullah juga menyebut dalam kebudayaan masyarakat Melayu, anjing dianggap sebagai karakter yang hina, jahat, serta nggak punya ilmu. Contohlah, peribahasa “anjing menggonggong kafilah berlalu” sudah bisa menggambarkan kalau ada orang yang hobinya mencemooh, bukan? Selain itu, ada juga peribahasa “melepas anjing terjepit, sudah lepas dia menggigit” untuk menggambarkan orang nggak tahu berterima kasih.
Alasan mengapa anjing digambarkan sebagai perangai atau perilaku orang yang buruk terkait dengan menyebarnya Islam pada Masyarakat Melayu. Air liur anjing yang dianggap najis membuatnya seperti dihindari agar nggak kerepotan untuk membersihkannya. Gara-gara hal ini pula, anjing pun dianggap lebih rendah dari hewan lain yang sering bersinggungan dengan manusia.
Hal yang sama diungkap Mahmud Fasya, Antropolinguis dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Air liur anjing yang dianggap najis dianggap cocok untuk menyamakan seseorang yang dianggap memiliki sifat atau perilaku buruk. Menyamakan mereka dengan hewan najis pun dianggap sebagai makian dengan level terkuat bagi orang-orang tersebut.
Ada juga versi lain yang menyebut makian anjing berasal dari kejengahan masyarakat pribumi terhadap para penjajah Belanda yang banyak memelihara anjing, sesuatu yang nggak biasa bagi orang pribumi. Nah, kalau mengumpat langsung ke penjajah tentu bisa kena masalah, bukan? Pada akhirnya, anjing-anjing merekalah yang kemudian dijadikan sasaran kebencian.
Kalau kamu, lebih suka memakai umpatan “anjing” atau “asu” nih, Millens? (Jaw, Ayo /IB09/E05)