BerandaHits
Rabu, 6 Sep 2022 15:10

Cara Kerja dan Sejarah Lie Detector, Alat Pengungkap Kebohongan

Ilustrasi lie derctor. (Shutterstock via Suara)

Sejatinya, lie detector atau alat deteksi kebohongan merupakan gabungan beberapa alat medis. Dengan alat ini, perubahan denyut nadi, detak jantung, tekanan darah, dan lainnya yang dijadikan parameter kebohongan dapat diketahui.

Inibaru.id – Kasus pembunuhan Brigadir Joshua hingga kini masih menemui jalan buntu meski beberapa nama ikut terseret. Kepolisian pun sampai pada tahap penggunaan alat pendeteksi kebohongan atau lie detector.

Beberapa orang yang bakal menjalani pemeriksaan dengan alat ini adalah istri Ferdi Sambo Putri serta asisten rumah tangga(ART) Sambo yaitu Susi.

"Hari ini diperiksa PC dan saksi Susi. Di Puslabfor Sentul," ujar Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi saat dikonfirmasi Detik, Selasa (6/9/2022).

Penggunaan lie detector dalam penyelidikan sebuah kasus memang bukan hal baru. Alat ini sudah sering digunakan untuk membantu mengungkap sebuah kasus. Cara kerjanya cukup bisa dipahami kok.

Seseorang bakal dipasangi paling nggak 3 sensor pada beberapa bagian tubuh. Dikutip Satujam (10/12/2015), setelah terhubung, dia akan diberi beberapa pertanyaan. Nah, alat ini bakal mencatat laju pernapasan, detak jantung, tekanan darah, dan keringat pada tangan untuk selanjutnya dibandingkan dengan keadaan normal.

Adanya perubahan pada parameter-parameter itulah yang dapat menunjukkan apakah seseorang berbohong atau nggak. Hal ini ditunjukkan dalam bentuk gelombang. Jika seseorang nggak jujur, grafik gelombang akan bergerak dengan cepat. Sebaliknya, grafik gelombang bakal bergerak pelan atau bahan diam jika orang yang dites berkata jujur.

Sensor Lie Detector

Ilustrasi berbohong. (Shutterstock via Kompas)

Pada lie detector, ada tiga sensor yang digunakan, yakni:

Sensor pneumograf

Dililitkan di dada, sensor ini bakal mendeteksi detak napas di dada dan perut.

Sensor blood pressure

Seperti namanya, sensor ini mendeteksi adanya perubahan tekanan darah dan detak jantung. Untuk mendeteksi adanya perubahan tekanan darah, sensor ini ditempelkan pada bagian lengan.

Sensor skin resistance

Orang yang tengah berbohong biasanya bakal berkeringat pada bagian telapak tangannya. Nah, untuk menangkap sinyal itu, sensor ini dipasang pada jari-jari tangan.

Sekilas, alat pendeteksi kebohongan ini sudah cukup mengesankan ya, Millens? Tapi sayangnya, alat ini masih sangat kontroversial dan hasilnya pun nggak selalu bisa diterima. Sebabnya, gelagat fisik seseorang seperti gagap atau tangan berkeringat nggak menjamin jadi tanda kebohongan. Bisa saja dia sedang merasa nggak nyaman atau gugup.

Dikembangkan Sejak Abad 18

Lie detector yang kita temui zaman sekarang merupakan penyempurnaan alat yang sudah ada sejak abad 18 silam. Eh, sebelum alat ini ditemukan, orang zaman dulu menguji kejujuran dengan memasukkan tangan ke dalam air mendidih. Kalau tangan nggak terluka, berarti dia jujur. Hm, serem ya?

Awal mula pendekatan ilmiah untuk mengembangkan lie detector disebut dari seorang ahli kriminologi Cesare Lombroiso pada 1895. Dia bereksperimen dalam mendeteksi penipuan dengan mencoba mencatat perubahan tekanan darah. Dia menamai alat itu dengan “Lombroso’s Glove”. Sayangnya, eksperimen ini dihentikan karena dia nggak ada waktu untuk melanjutkannya.

Meski Lombroiso menyerah, pengembangan alat ini terus dilakukan hingga pada 1924, Leonardo Keeler tertarik untuk ikut menyempurnakannya.

Bisa dibilang bahwa alat pendeteksi kebohongan yang kerap dipakai zaman sekarang merupakan pengembangan karya Keeler. Dulu, Keeler hanya menggunakan sensor untuk mengukur detak jantung, denyut nadi, perubahan suhu dan konduktivitas listrik pada orang yang dites. Keeler memberi nama alat ini dengan Emotograph. Kini, lie detector telah ditambah berbagai aplikasi dan software.

Walau semakin canggih, menurutmu apakah alat ini perlu digunakan untuk mengurai benang kusut penembakan Brigadir Joshua, Millens? (Siti Zumrokhatun/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Indonesia Juara FIFAe World Cup 2024; E-Sport Kita Makin Berkembang

14 Des 2024

Legenda Kali Woro; Tentang Kesombongan Manusia terhadap Alam

14 Des 2024

Menguak Rahasia Rasa Manis Ubi Cilembu, Benarkah Karena Diberi Gula atau Madu?

14 Des 2024

Minimarket di Korea Selatan, Lebih dari Tempat Belanja, Kini Jadi Tujuan Wisata

14 Des 2024

Mengapa Belanja Live di Aplikasi Online Semakin Digemari?

14 Des 2024

Langkah Awal Indonesia untuk Lindungi Anak dari Bahaya Timbal

14 Des 2024

Cerita Mereka yang Pindah ke Kota Semarang untuk Kehidupan yang Lebih Sehat

15 Des 2024

Bubur Lezat Mbak Las Kota Semarang, Surga Penggemar Kuliner Bubur

15 Des 2024

Mengungkap Ketokohan Brawijaya, Fiktif atau Nyata?

15 Des 2024

Libur Nataru, Gunung Bromo Bakal Tutup Sehari

15 Des 2024

Mengapa saat Terbang Ponsel Harus Dalam Mode Pesawat?

15 Des 2024

Punya Rasa Manis, Apa Dampak Makan Ubi Cilembu untuk Gula Darah?

15 Des 2024

Kuliner Pedas dan Mantap di Warung Pecel Bu Gik Semarang

16 Des 2024

Lima Napi Bali Nine Dipulangkan ke Australia; Yusril: Mereka Tetap Narapidana

16 Des 2024

Rumah Pemujaan Dewi Samudra dan Klenteng Tertua di Lasem: Tjoe An Kiong

16 Des 2024

Indahnya Wisata Musim Dingin di Otaru, Jepang

16 Des 2024

Sejarah Candy Cane, Permen Ikonik dengan Makna Mendalam di Hari Natal

16 Des 2024

Isu Pemilihan Kepala Daerah Lewat DPRD, Ide Positif atau Kemunduran Demokrasi?

16 Des 2024

Jateng Raih Dua Penghargaan di ABBWI 2024; Strategi Pariwisata Sukses Bawa Wisatawan

17 Des 2024

Catat Baik-Baik, Cuti Bersama dan Libur Sekolah pada Libur Nataru Kali Ini!

17 Des 2024