Inibaru.id - Layaknya yang diprediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sejak berbulan-bulan lalu, kemarau 2025 memang kemarau basah. Makanya, bukan hal aneh melihat hujan tiba-tiba turun setelah sempat kering selama beberapa hari atau beberapa pekan sebelumnya seperti beberapa saat lalu.
Tapi, bukan berarti kita nggak akan mengalami puncak musim kemarau ya. BMKG memastikan kalau Agustus 2025 bakal jadi puncak kemarau 2025. Nah, kita harus mewasapadai sejumlah masalah khas musim kemarau layaknya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seperti tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini diungkap BMKG usai melakukan Rapat Koordinasi Nasional Penanganan Karhutla yang digelar secara daring bersama Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB).
Wilayah seperti Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan masuk daftar zona merah potensi karhutla. Dari pantauan sistem penilaian potensi kebakaran atau Fire Danger Rating System (FDRS), sebagian besar wilayah di kawasan ini menunjukkan warna merah. Artinya, di wilayah-wilayah tersebut, banyak vegetasi kering dan mudah terbakar meski nggak dipantik sama sekali oleh aktivitas manusia.
BMKG mengaku sudah melakukan sejumlah modifikasi cuaca untuk mencegah hal ini. Tapi, karena nyatanya kita memang sudah memasuki puncak musim kemarau, efeknya nggak begitu terasa.
“Efek dari hujan buatan lewat operasi modifikasi cuaca (OMC) memang ada, tapi sifatnya hanya sementara. Warna merah kembali muncul di peta kami, yang artinya kondisi aslinya sudah kembali,” jelas Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam rilis resmi BMKG pada Senin (28/7/2025).
Prakiraan visual harian BMKG juga menunjukkan awan hujan sulit tumbuh di langit Riau, Jambi, hingga Sumatera Selatan. Dominasi warna oranye dan kuning di peta cuaca pada wilayah-wilayah tersebut juga menandakan kelembapan rendah sehingga peluang hujan pun minim.
Langkah cepat pun terus dilakukan. Salah satunya adalah kolaborasi lintas lembaga dalam pelaksanaan OMC. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengapresiasi akurasi dan ketepatan pelaksanaan OMC, yang menurutnya tak hanya sekadar menabur garam ke langit, tapi menabur harapan lewat data dan analisis yang presisi.
“Di bawah koordinasi Ibu Kepala BMKG, OMC kini semakin strategis. Kita tahu di mana awan terbentuk dan kapan harus bertindak. Itu membuat semua operasi lebih terukur dan tidak sekadar eksperimen,” tegasnya.
Namun, ancaman karhutla tak bisa hanya dihadapi dari udara. Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menegaskan pentingnya sinergi di lapangan. Di Riau, misalnya, kolaborasi antara TNI, Polri, relawan, serta penggunaan helikopter water bombing telah menunjukkan hasil meskipun belum tuntas.
“Kalau semua unsur bergerak bersama, saya rasa kita bisa kendalikan,” katanya dengan yakin.
Musim kemarau sendiri diperkirakan bertahan hingga September, sebelum musim hujan datang secara bertahap pada Oktober. Dua bulan ke depan dianggap sebagai masa kritis yang membutuhkan kesiapsiagaan maksimal.
“OMC bukan solusi utama. Kuncinya tetap pada patroli yang jauh lebih ketat, deteksi dini, dan pemadaman yang sigap,” tutur Kepala BMKG.
Untuk itu, BMKG mendorong kepala daerah lebih aktif menggunakan laporan prediksi cuaca sebagai dasar pengambilan keputusan. Edukasi ke masyarakat, pengetatan aturan pembakaran lahan, hingga kesiapan logistik juga harus terus ditingkatkan.
Karhutla bukan hanya krisis lingkungan, tapi juga ujian solidaritas. Dengan bekerja serempak, semoga langit di Tanah Air, khususnya di Sumatera dan Kalimantan tetap biru, bukan merah menyala oleh asap dan api layaknya puncak musim kemarau pada tahun-tahun sebelumnya. Setuju, Gez! (Arie Widodo/E07)
