Inibaru.id – Di Indonesia, ada banyak banget comfort food alias makanan yang bisa bikin suasana hati kita jadi lebih baik. Sebut saja mi ayam, martabak manis, bakso, siomay, atau bahkan seblak.
Hal serupa juga berlaku di Korea Selatan. Mereka punya cukup banyak comfort food yang bisa dinikmati siapa saja seperti tteokbokki.
Khusus untuk bakso dan mi ayam, penggemarnya sangat banyak. Nama terakhir bahkan telah dibukukan Brian Khrisna dalam Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati.
Menariknya, buku dengan judul yang mirip juga muncul di Korea Selatan, yaitu I Want to Die but I Want to Eat Tteokbokki.
Tapi, bukan berarti isi dari kedua buku tersebut sama ya, Millens. Buku Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati bercerita tentang seorang laki-laki yang sudah merasa lelah dengan kehidupan yang serba cepat di Ibu Kota Jakarta sehingga pengin mengonsumsi mi ayam andalannya.
Sementara, buku terakhir, yang dikarang oleh penulis Korsel Baek Se-hee, menceritakan tentang perjuangannya melawan masalah mental dengan tteokpokki, salah satu makanan yang paling populer di negara asalnya itu.
Sedikit informasi, dalam buku tersebut Se-hee mengaku sudah mengalami gangguan kecemasan dan persistent depressive disorder selama kurang lebih satu dekade. Dalam buku itu, dia pun menjabarkan perjuangannya melawan masalah kesehatan mental tersebut dengan cara kerap berkonsultasi dengan psikiater. Sejumlah obrolan selama konsultasi juga dituliskan dalam buku ini.
Obrolan bersama psikiater ini penting dimasukkan karena dari situlah penulis menemukan sisi lain dari kehidupan yang sebelumnya nggak bisa dia lihat.
Psikiater menyarankan agar dia melakukan kegiatan yang bisa bikin segala beban di kepalanya lepas. Hal inilah yang kemudian membuatnya memutuskan untuk membuat blog pribadi.
Dia juga diminta untuk menemukan hal-hal kecil yang bisa bikin bahagia. Dari situlah perempuan kelahiran Seoul 25 tahun lalu itu kemudian menyadari bahwa dia sangat menyukai tteokbokki.
Bahkan, hanya dengan membayangkan saja penganan tersebut, dia sudah bisa merasa nyaman dan tenang. Dari sinilah, dia akhirnya kembali menemukan seni untuk bertahan hidup, bahkan lebih menikmati kehidupan.
Buat kamu yang juga mengalami masalah kesehatan mental, tentu saja buku ini cocok untuk dibaca karena bisa membuatmu jadi belajar menghargai banyak hal kecil yang bisa saja malah jadi turning point buatmu untuk lebih menikmati hidup.
Meski begitu, saat membaca buku dengan ketebalan 236 halaman ini, ada baiknya kamu harus menyiapkan catatan atau setidaknya nggak jauh-jauh dari gawai karena terkadang ada beberapa istilah kedokteran yang mungkin asing bagimu. Biar bisa dicari artinya gitu, Millens!
Yang pasti, buku yang dirilis pada 2018 dan diterjemahkan dalam 25 bahasa ini memang layak untuk dibaca siapa saja. Jadi, kalau kamu tertarik untuk membacanya, bisa kok mencarinya di toko buku atau toko-toko daring andalanmu. (Arie Widodo/E10)
