BerandaHits
Kamis, 24 Des 2025 15:01

8 Cara Mengajarkan Disiplin pada Balita dan Kapan Bisa Diterapkan

Ilustrasi: Menetapkan batasan dan mengajarkan konsekuensi alami adalah bagian dari upaya mengajarkan disiplin pada balita. (Hoosier Chapter Books)

Memulai disiplin pada balita harus diterapkan sesuai perkembangan usianya, mulai dari pentingnya menetapkan batasan, strategi menghadapi tantrum, rutinitas harian, hingga cara memberi konsekuensi yang sesuai dengan perkembangan anak.

Inibaru.id - Pada usia sekitar tujuh bulan, anak mulai memahami arti kata “tidak”. Namun ketika kemampuan bicara berkembang, banyak balita justru menjadikan kata itu sebagai “senjata” favorit, baik karena dia suka mengucapkannya atau sebagai bentuk penolakan.

Pada fase inilah orang tua sering menghadapi momen yang dipenuhi uji kesabaran, ketika si kecil mulai mendorong batasan, menguji kemandirian, dan mencoba mengenali dunia dengan caranya sendiri. Meski begitu, disiplin tetap menjadi bagian penting tumbuh kembang anak.

Pada tahun-tahun awal usia anak, disiplin pada dasarnya adalah bentuk proteksi, yang berfungsi untuk menjaga keselamatan anak. Kita mengajarkan bahwa oven panas nggak boleh disentuh, ekor kucing jangan ditarik, dan jalan raya bukan tempat bermain.

Namun, psikolog klinis Dr Kristin Carothers mengatakan, batasan yang konsisten nggak hanya dibuat untuk melindungi, tapi juga membentuk perilaku baik untuk masa depan. Batasan, lanjutnya membuat anak merasa aman.

Cara Mengajarkan Disiplin pada Balita

Ilustrasi: Salah satu bentuk disiplin yang bisa diberikan adalah mengabaikan tantrum anak untuk menegaskan bahwa cara itu nggak bisa dijadikan sebagai senjata. (Unsplash/Helena Lopes)

1. Membangun disiplin dari rutinitas

Ketika orang tua mengatakan perilaku apa yang diharapkan, anak mengetahui bahwa orang tuanya memegang kendali dan memberi arahan. Aturan juga menjadi pijakan awal untuk mengenalkan sudut pandang orang lain yang menjadi landasan awal empati.

Meski anak usia dua tahun belum sepenuhnya memahami perasaan orang lain, mereka bisa belajar bahwa berbagi itu baik dan meminjamkan mainan ke orang lain bisa membuat seseorang senang. Dr Kristin mengatakan, banyak orang tua sebenarnya sudah menerapkan batasan tanpa sadar.

“Salah satu cara paling alami untuk menciptakan batasan adalah melalui rutinitas harian anak,” jelasnya.

Anak mungkin belum mengetahui konsep waktu, tetapi mereka mengenali pola-pola tertentu. Misalnya, pola mau tidur adalah cuci tangan dan kaki, ganti baju, membaca buku, lalu tidur di tempat tidur sendiri. Rutinitas mengajarkan anak apa yang akan terjadi selanjutnya, sehingga nggak ada kejutan yang kurang nyaman.

2. Memberi teguran seketika

Dalam kehidupan sehari-hari, nggak semua kejadian dapat direncanakan. Misalnya, ada momen ketika anak memukul teman atau saudaranya. Jika hal ini terjadi, Dr Kristin mengungkapkan, orang tua perlu memberikan merespons seketika.

“Jika ada aturan yang ingin ditegakkan sebagai respons tertentu , kamu harus memperbaikinya saat itu juga,” jelasnya. "Namun, perlu dipikirkan bagaimana cara menegurnya."

Menurut Dr Kristin, cara menegur anak juga perlu diperhatikan. Alih-alih melarang dengan kata “jangan”, lebih baik memberi tahu anak apa yang harus dilakukan. Anak-anak, imbuhnya, tahu arti kata "tidak", tapi nggak tahu apa yang harus dilakukan setelah mendengarnya.

"Ketimbang bilang 'jangan', lebih baik beri alternatif yang langsung menjelaskan apa yang harus dilakukan seperti 'gunakan tangan dengan lembut' atau tolong 'jaga tanganmu tetap di dekat tubuhmu'. Car ini akan jauh lebih efektif," sebutnya.

3. Memperkenalkan time-out singkat

Jika anakmu sudah berusia tiga tahun, Dr Kristin menjelaskan, kamu sudah bisa mulai memperkenalkan konsep time-out singkat. Dia menyebutnya sebagai “jeda dari perhatian positif orang tua.”

"Misal, kamu ingin anak menjaga tangannya (dari memukul). Saat dia memukul kakaknya untuk meminta mainan, katakanlah, 'Kamu memukul kakak, jadi sekarang duduk di kursi ini sebentar!' sebagai bentuk time-out atau jeda,” paparnya.

Durasi jeda tersebut, imbuhnya, nggak perlu lama-lama. Cukup 1-3 menit. Setelah durasi jeda selesai, berikan arahan perilaku yang benar, seperti: Sentuh kakak dengan lembut, lalu mintalah mainan dengan baik-baik tanpa memukul.

4. Menggunakan konsekuensi alami yang aman

Kamu juga bisa menggunakan konsekuensi alami kepada anak, asalkan situasinya nggak membahayakan si kecil. Saat anak melompat di sofa, bisa jadi dia akan terjatuh. Jika terjadi, kamu bisa mengafirmasi perasaannya, lalu mintalah dia mengikutimu mempraktikkan duduk tenang di sofa agar nggak jatuh lagi.

Konsekuensi alami adalah apa yang terjadi lantaran melakukan sesuatu. Jika anak mencoret dinding, mintalah dia melihat hasilnya, lalu biarkan dia berusaha membersihkannya. Mungkin dinding nggak bersih sepenuhnya, tetapi menurut Dr Kristin, usaha itu akan memperkuat aturan.

5. Mengafirmasi usaha anak

Seperti disebutkan sebelumnya, konsekuensi alami bisa diterapkan selama situasinya aman. Beberapa situasi nggak bisa dijadikan sebagai konsekuensi karena membahayakan. Balita akan berlari di mana pun, bahkan ke jalan raya, tanpa memahami bahaya yang bisa mengancamnya.

“Kita tidak bisa berharap balita menetapkan batas untuk dirinya sendiri,” tegas Dr Kristin. "Ketika berjalan di trotoar, orang tualah yang harus memegang tangan anak, lalu afirmasilah usaha atau perilaku baik yang dilakukan buah hati," sebutnya.

Dr Kristin memberi contoh, kamu bisa mengatakan kepada anak: "Terima kasih sudah pegang tangan ayah!" atau "Kamu hebat karena tetap dekat dengan Ibu!”

6. Realistis dan jangan berekspektasi

Orang tua juga perlu memahami keterbatasan perkembangan anak. Mengharapkan balita duduk manis berjam-jam dalam acara sosial yang membosankan mereka sangatlah nggak realistis. Maka, bersikaplah realistis dan jangan berekspektasi terhadap anak.

"Pujian, aktivitas kecil, dan jeda bisa membantu, tetapi tempat yang menuntut sopan santun sempurna bukanlah pilihan tepat," tutur Dr Kristin.

7. Mengajarkan bahwa tantrum bukan 'senjata'

Balita dan tantrum acapkali nggak bisa dipisahkan. Pada usia ini, anak masih belajar berkomunikasi dan bahasa mereka belum cukup matang, jadilah tantrum. Seorang anak, Dr Kristin mengatakan, acap bertindak agresif karena belum mampu menyampaikan rasa frustrasi, marah, atau malu.

Terkadang, tantrum juga muncul karena anak sadar bahwa perilaku itu mendatangkan perhatian dan sering membuat mereka mendapatkan apa yang diinginkan. Itulah sebabnya tantrum kadang perlu diabaikan, meski saat terjadi di muka umum terasa memalukan.

Begitu anak tenang, segera beri pujian. Dia memberi contoh, misalnya, dalam situasi anak tantrum lantaran kita menolak membelikan biskuit di sebuah supermarket, segera ajak bicara saat memungkinkan, misalnya ketika anak diam dari menangis.

"Kamu bisa bilang, 'Terima kasih sudah bilang ingin biskuit. Ayah juga suka biskuit. Kali lain, kalau kita ke supermarket lagi, kita bisa beli!' sembari melihat reaksinya,” kata Dr Kristin.

Jika tantrum berlanjut, biarkan saja. Jangan menyerah.

“Penting bagi anak untuk belajar bahwa ada kalanya kita mendapatkan apa yang dimaui, tapi ada kalanya tidak. Itu bagian alami dalam hidup,” simpulnya.

8. Memberikan kendali secara terbatas

Balita kadang memberontak lantaran ingin merasakan punya kontrol. Ini wajar karena mereka memang sedang belajar membuat keputusan sendiri. Sebagai orang tua, Dr Kristin mengatakan, kita sebaiknya membiarkan anak memiliki kendali atas dirinya sendiri, tapi batasannya tetap harus jelas.

"Anak boleh memilih permainan atau tayangan yang ingin ditonton, tetapi tidak berhak memutuskan berapa lama durasi dan waktu menontonnya, karena itu merupakan otoritas orang dewasa," jelasnya.

Menerapkan disiplin pada balita bukan berarti memberikan hukuman, tetapi tentang bagaimana membimbing, melindungi, dan mengajari mereka cara berperilaku sekaligus menunjukkan bagaimana dunia bekerja.

Dengan batasan yang konsisten, rutinitas yang jelas, serta respons yang tepat, orang tua bisa membantu anak tumbuh menjadi individu yang lebih aman, percaya diri, mandiri, dan siap menghadapi berbagai situasi dalam hidupnya pada masa mendatang. (Siti Khatijah/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Berbagai Keseruan yang Bisa Kamu Sambangi saat Musim Dingin di Seoul

11 Des 2025

Mencicipi Rasa Legendaris di Bakmi Jawa Pak Bagyo Magelang

11 Des 2025

Bebas Pilih Menu; Makan Gratis di Warmah Semarang untuk Korban Bencana Sumatra

11 Des 2025

Yang Harus Diperhatikan Generasi Muda saat Mempersiapkan Dana Pensiun

11 Des 2025

Plankton, Rahasia Warna-warni Kinclong Ikan Koi

11 Des 2025

Alas Krendowahono Bukan Sekadar Hutan, tapi Pusat Ritual Sakral

11 Des 2025

PLTN Pertama di Indonesia Ditargetkan Beroperasi 2032, Begini Rincian Rencananya

12 Des 2025

Kenapa Sih saat Foto Paspor Nggak Boleh Senyum? Ini Alasannya

12 Des 2025

Setahun Terakhir, Ada 43 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual di Jateng

12 Des 2025

Banjir Semakin Parah, Jateng Susun Strategi Adaptasi Dampak Perubahan Iklim

12 Des 2025

Inspirasi Sepekan; dari Kiai Mangrove hingga Aksi 'Warga Bantu Warga' di Kota Lunpia

12 Des 2025

Tanpa Keseimbangan Hulu-Hilir, Banjir Permanen Hantui Pantura Jateng

12 Des 2025

Dua Arca Diduga dari Abad ke-10 Ditemukan di Sragen, Ada Teko Jepang Ikut Terkubur!

12 Des 2025

Kisah Kadjo, Abdi Dalem Muda dari Solo yang Dikirim ke Belgia dan Sukses Jadi Ahli Arloji!

12 Des 2025

Pentingnya Memahami Pencegahan dan Penanganan Pertama Kebakaran

13 Des 2025

Mengapa Semakin Banyak Gen Z yang Kosongkan Profil Instagramnya?

13 Des 2025

Mitigasi Banjir Kota Semarang; Pakai 'Bola GPS' untuk Lacak Titik Penyumbatan Air

13 Des 2025

Tanda-Tanda Awal Autisme pada Bayi dan Balita; Mengapa Deteksi Dini Penting?

13 Des 2025

Soal Ilegal Logging; Prabowo Janji Sikat Habis Pelaku

13 Des 2025

Labeli Angker, Cara Cerdas Leluhur Jaga Pohon?

13 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: