BerandaFoto Esai
Senin, 25 Okt 2020 10:04

Bertahan dengan Mengais Kepingan di Persimpangan Lampu Merah Kota Semarang

Kadimin (59), Ari (35) dan Tegar (18), penari jalanan yang biasa pentas di jalan Brigjen Sudiarto.

Persimpangan jalan atau pemberhentian lampu merah di Kota Semarang acap digunakan orang untuk menggantungkan hidup. Menolak dikatakan pemalas, mereka mencari cara, mulai dari menjadi penari dadakan, menjadi manusia silver, hingga main biola. Satu tujuannya, bertahan hidup dari kepingan di persimpangan lampu merah.<br>

Inibaru.id - Azan Zuhur berkumandang saat Tri dan kawan-kawannya menghentikan alunan dendang musik angklung di perempatan Jalan Jenderal Pol Anton Sujarwo, Srondol Wetan, Banyumanik, Kota Semarang. Perkusi seperti angklung, tamborin, drum kecil, dan drum gentong, langsung saja diletakan.

Uang receh kumal yang terkumpul setengah hari pun dikumpulkan untuk dihitung. Teko kecil berisi es teh ditenggak bergilir oleh para personel Casper, grup musik angklung yang digawangi Tri, untuk mengobati haus yang mereka tahan-tahan sedari pagi "manggung" di persimpangan.

“Azan berhenti dulu. Takut dosa!” kelakar Tri saat saya temui pada Kamis (22/10/2020), yang mengaku sudah hampir dua tahun mengamen bersama Casper di Banyumanik. Sebelumnya, mereka "manggung" di jalanan pusat Kota Semarang.

Tri tinggal di Barutikung, Semarang Utara. Cukup jauh dari tempat ngamennya sekarang. Namun, menurutnya tempat ngamen yang mulai dijajakinya sejak 2018 itu jauh lebih "aman" karena risiko kena angkut Satpol PP lebih kecil ketimbang di pusat kota.

“Kalau di Banyumanik saya sudah ada link dengan petugas. Jadi kalau ada operasi sudah dikabari,” katanya. Saya tersenyum simpul mendengarnya.

Dalam sehari, Tri dkk bisa mendapat penghasilan sekitar Rp 200 ribu hingga 300 ribu. Namun, itu belum bersih, karena masih dipotong penyewaan alat, penitipan, dan trasportasi. Setelah dipotong, penghasilan bersih tersebut dibagi personel Casper yang berjumlah lima orang.

Tri dkk hanyalah satu dari banyak orang yang mencoba bertahan dengan mengais penghidupan di persimpangan lampu merah Kota Semarang. Dalam seminggu terakhir, saya mencoba membidik para seniman jalanan yang ngupoyo upo di sana.

Seniman lain yang saya temui adalah kelompok tari jalanan di perempatan Jalan Brigjen Sudiarto. Mereka adalah Kadimin, Ari, dan Tegar. Nama terakhir masih sangat muda. Namun, siapa menyangka beban hidup pemuda 18 tahun tersebut begitu berat?

Di Semarang, Tegar hidup berdua dengan ibunya di sebuah kos-kosan. Putus sekolah sejak SD hingga sekarang, dia mengaku masalah keluarga menjadi penyebabnya. Namun, dia enggan menjelaskannya lebih detail. Ya, sudahlah, itu privasinya.

Namun, Tegar bersyukur kedua adik perempuannya kini ada di pondok pesantren, bukan di jalanan seperti dia.

Menjadi penari jalanan, dalam sehari dia bisa mengantongi uang sekitar Rp 60 ribu hingga 70 ribu. Selain untuk makan sehari-hari, sebagian penghasilannya dia gunakan untuk membantu membayar kos saban akhir bulan. Dia harus menopang kehidupan keluarga lantaran ibunya juga nggak kerja.

“Nggak apa-apa kerja begini, yang penting halal,” ujar lelaki yang mengaku sebetulnya nggak terlalu menguasai gerakan-gerakan tari. Namun, daripada sekadar meminta-meminta, menari lebih baik karena menunjukan sedikit kerja keras.

Tegar sebetulnya pernah bekerja di sebuah pabrik roti. Namun, dia memilih resign karena nggak ingin terpengaruh teman kerjanya yang punya kebiasaan buruk menenggak minuman keras. Sungguh santun!

Mengais kepingan di persimpangan lampu merah juga dilakukan Agus. Frustasi dengan menjadi kondektur bus membuat lelaki yang biasa mangkal di sekitar Terminal Penggaron itu mengubah diri menjadi "manusia silver".

Sejak pandemi Covid-19, manusia silver memang menjadi tren baru di persimpangan lampu merah. Orang-orang mengecat diri dengan warna perak, lalu berjalan di persimpangan membawa kotak, meminta recehan dari para pengendara. Nah, Agus si Manusia Silver adalah salah satunya.

Semula, saya berpikir, apa sulitnya pekerjaan itu? Namun, saya terkejut saat mengetahui bahwa Agus menggunakan cat kayu atau besi untuk mengecat tubuhnya.

“Ya, gatal (memakai cat besi), tapi mau gimana lagi?” tuturnya, retoris. Saya ingin sekali mengatakan cat itu buruk untuk kulit, tapi saya urungkan. Pekerjaan itulah yang kini menyelamatkan hidupnya dan sepertinya itu cukup bagi dia.

Tri, Tegar, dan Agus, hanyalah potongan kecil dari kue berisikan kisah-kisah getir di jalanan. Banyak profesi yang saya temukan di persimpangan jalan. Ada Satria si violinis, para pengasong, penjual koran, pengemis, dan banyak lagi.

Saya pikir, nggak ada orang yang minta dilempar ke dunia untuk hidup susah sembari menunggu ajal. Mereka, yang mencari kepingan di persimpangan, cuma belum punya pilihan lain yang memungkinkan. Kalau pun memungkinkan, mereka juga pengin mentas, menjadi pengusaha atau kembali sekolah.

Jika bertemu mereka di jalanan Kota Semarang, bukalah jendela mobil atau kaca helmmu. Sapalah dan beri mereka seikhlasnya. Bukan semata karena pahala atau iming-iming surga, tapi untuk menyambung hidup mereka, biar asa mereka nggak redup. Saya kira, itu cukup! (Audrian F/E03)

Casper, grup musik angklung milik Tri (jaket ungu).<br>
Mengumpulkan hasil mengamen. <br>
Kadimin (59), Ari (35) dan Tegar (18), penari jalanan yang biasa pentas di jalan Brigjen Sudiarto.
Beristirahat sejenak sebelum kembali pentas.<br>
Bermodal radio kecil.<br>
Kadimin bukanlah warga asli Semarang. Dia jauh-jauh dari Wonogiri untuk mencari nafkah. Dilihat dari latar belakangnya, tampaknya dia memang penari reog betulan.<br>
Agus si Manusia Silver yang nggak punya banyak pilihan hidup sehingga rela memakai cat besi yang dilulurkan di tubuhnya.<br>
Di tengah senjakala koran, penjaja koran di lampu merah punya peran besar dalam mendongkrak oplah.<br>
Pak Ogah di persimpangan jalan Prof Soedharto, Tembalang punya andil besar dalam menjaga keteraturan jalan dan mengurangi resiko kecelakaan.<br>
Satria si violinis jalanan. Alunan nadanya yang menyayat sungguh membuat sore hari makin syahdu. Selain menjadi pengamen biola, dia juga menerima les privat.<br>

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024