Inibaru - Bangunan ini nggak mencolok dibanding bangunan lainnya yang rata-rata digunakan sebagai toko. Gerbangnya pun terbilang kecil, mungkin cuma cukup untuk masuk satu kendaraan roda empat. Pada kanan kiri gerbang terdapat tembok setinggi orang dewasa yang dipenuhi tanaman menjalar. Saya juga menemukan tulisan Tam Tiong Ie pada salah satu sisinya.
Saat melongok ke dalam, ada satu bangunan besar berlantai dua yang diapit dua rumah kecil. Halaman luas yang ditumbuhi rumput Jepang jadi pemisah antara gerbang dengan rumah bergaya campuran indies dan art deco ini.
Widayat Basuki Dharmowijoyo, sang pemilik rumah mengaku rumah ini dibangun oleh kakek dari kakeknya pada 1840-an. Hingga kini, rumah tinggal ini selalu diwariskan secara turun temurun hingga terjaga dengan baik. Saat saya datang ada dua pekerja yang sedang memperbaiki tembok depan rumah, menurut Basuki, hal ini wajar.
“Karena udara lembab, banyak kerusakan di tembok. Ada juga yang bocor,” kata lelaki 75 tahun ini sambil menunjuk beberapa bagian yang bermasalah.
Dari depan, rumah ini punya tiga pintu besar yang semuanya masih berfungsi dengan baik. Saat itu saya diajak melewati pintu yang berada di sebelah kanan. Basuki bercerita, ada tradisi yang dia buat terkait pintu tengah di rumah yang kini sudah jadi cagar budaya tersebut. Dia menyebut bahwa pintu tengah rumahnya dia jadikan sebagai pintu seremoni penanda dimulainya dan berakhirnya kehidupan.
“Kalau bayi lahir di RS dilewatke pintu tengah. Ketika ngunduh manten juga lewat tengah. Hingga keluar terakhir ketika meninggal juga dilewatkan situ (pintu tengah),” tutur Basuki.
Kala itu saya diajak berkeliling di ruang tamu yang nggak terlalu besar. Satu yang sangat kontras ketika masuk ke rumah dengan cat putih ini adalah perbedaan suhu di luar dan dalam rumah. Saat masuk, seketika saya merasakan hawa sejuk meski nggak ada pendingin ruangan. Menurut Basuki, hal ini disebabkan oleh langit-langit rumah yang dibuat tinggi.
Saya juga agak canggung ketika setiap langkah kaki saya menimbulkan decitan yang cukup keras, ternyata setelah saya melongok ke bawah hal ini disebabkan oleh lantai marmer yang masih asli dan terasa keset.
Bukan Rumah Abu
Saat mengedarkan pandangan, perabot di dalam rumah semuanya terlihat kuno. Ada sofa merah hati yang terletak di bagian tengah ruang tamu, ada juga radio antik yang dijadikan hiasan di pojok ruangan. Meski begitu, semua perabotan di rumah dengan empat kamar ini terlihat terawat dengan baik.
Salah satu yang bakal menarik perhatian siapa saja yang berkunjung ke sini adalah altar yang terletak di salah satu sudut ruangan. Basuki menyebutnya sebagai almari tempat menyimpan prasati silsilah keluarganya.
Banyak selentingan yang mengatakan bangunan ini sebagai rumah abu leluhur Basuki. Kabar itu secara tegas dibantah oleh Basuki.
“Kalo dibilang rumah abu itu nggak bener. Soalnya kalau nyimpan abu jenazah di dalam rumah bisa bikin apes,” katanya sambil menunjukkan bagian dalam salah satu prasasti milik kakeknya, Tam Tiong Ie.
Menurutnya, tinggal di rumah kuno memang punya tantangan tersendiri. Apa lagi bangunan yang berdiri di atas lahan seluas hampir 2 ribu meter persegi ini telah ditetapkan jadi bangunan cagar budaya pada 2018 lalu. Dia nggak bisa sembrono mengubah fasad bangunan. Selain itu, berbagai kerusakan juga harus dia perbaiki dengan hati-hati.
Basuki mengaku menikmati semua tantangan itu. Ngopeni peninggalan nenek moyang tentu menjadi kehormatan. Peninggalan itu termasuk usaha pengolahan biji kopi yang telah didirikan Tam Tiong Ie sejak 1916 di samping rumah ini. Namanya Dharma Boutique Roastery.
Tertarik berkunjung ke sini sambil beli biji kopi, Millens? (Zulfa Anisah/E05)