BerandaAdventurial
Selasa, 24 Nov 2025 14:03

Pentas 'Tengul' di Kudus: Vonis Moral saat Menertawakan Kemiskinan

Salah satu adegan lakon, “Tengul” Karya Arifin C Noer yang diadaptasi oleh Teater Tigakoma (16/11) malam di Auditorium Universitas Muria Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Bagaimana jika kita menonton sebuah pertunjukan sebuah potret kemiskinan, tapi disajikan dengan cara yang lucu; lalu penampil mengatakan bahwa kemiskinan acap diperlakukan sebagai komoditas tontonan. Inilah yang dirasakan para penonton lakon 'Tengul' di Auditorium Universita Muria Kudus, Sabtu (16/11).

Inibaru.id - “Besok (ap)bila semua telah usai, kita bicara. Membasuh, seperti semula. Kelak, saat waktu menyulap kita menjadi tua, mari tetap berkabar sekalipun lewat doa,” tulis Afif Khoiruddin Sanjaya dalam puisinya.

Sebuah ajakan lembut untuk menjadi manusia yang tidak terburu-buru menghakimi, sekalipun hidup terus menua. Kontras dengan itu, gema suara Arifin C Noer kembali terdengar; Orang kenyang selalu bilang sabar, tapi sabar itu apa, kalau perutku berteriak?

Dua suara tersebut, lirih dan getir, bertemu di panggung Teater Tigakoma; saling memantulkan harapan dan kenyataan yang nggak pernah benar-benar berdamai. Bertempat di Auditorium Universita Muria Kudus, Sabtu (16/11), mereka kembali menghidupkan lakon Tengul karya Arifin C Noer.

Tahun ini Teater Tigakoma telah memasuki produksi ke-20 dari naskah berisikan kritik sosial tersebut. Afif menuturkan, produksi ke- 20 ini sebuah angka yang tak sekadar menjadi peringatan usia, tetapi juga tanda dari ketekunan dan loyalitas mereka terhadap teater.

“Dua puluh produksi bukan prestasi teknis,” ujarnya.

Salah satu adegan lakon, “Tengul” Karya Arifin C. Noer yang diadaptasi oleh Teater Tigakoma (16/11) malam di Auditorium Universitas Muria Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Afif melanjutkan dengan pengingat bahwa semua bergerak dan masih belajar memahami manusia. Dengan tangan dinginnya, naskah itu bukan sekadar lakon tradisional, melainkan autopsi terbuka atas moralitas Indonesia masa kini yang nyaris terdistorsi layar dan kemiskinan diperlakukan sebagai komoditas tontonan.

Dalam tradisi ludruk, Tengul adalah pelawak kampung: miskin, gesit, licik, dan kocak. Namun, versi Tigakoma menjadikannya lebih dari itu. Tengul kini adalah cermin retak, tempat masyarakat memantulkan kontradiksi dirinya sendiri, tawa yang disertai bela rasa palsu, simpati bercampur jarak sosial, dan moralitas yang goyah.

“Saya tidak ingin membuat Tengul menjadi objek hiburan. Saya ingin dia menjadi subjek yang memaksa kita bertanya: apakah kita masih punya ruang untuk memahami manusia lain tanpa merasa lebih tinggi darinya?” kata Afif.

Salah satu adegan lakon, “Tengul” Karya Arifin C. Noer yang diadaptasi oleh Teater Tigakoma (16/11) malam di Auditorium Universitas Muria Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Afif membaca Tengul sebagai manusia yang terpojok oleh sistem, bukan karakter buruk yang pantas ditertawakan.

“Tengul menipu bukan karena jahat, tapi karena ia lapar. Ia bertahan hidup dengan modal yang bahkan tidak cukup untuk disebut harapan,” kata Afif.

Dalam dunia yang kian absurd, yang dipenuhi ketimpangan, hoaks, tekanan ekonomi, dan budaya kerja tanpa henti, Tengul menjadi pertanyaan eksistensial yang mendesak: apa yang tersisa dari martabat manusia ketika ruang hidupnya nggak pernah layak?

Salah satu adegan lakon, “Tengul” Karya Arifin C Noer yang diadaptasi oleh Teater Tigakoma (16/11) malam di Auditorium Universitas Muria Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Di generasi sebelumnya, Afif mengungkapkan, kita menertawakan Tengul karena ia lucu. Di era ini, tawa itu berubah sifat: menjadi mekanisme pelarian dari kenyataan bahwa penderitaan Tengul lebih pahit dari hidup kita sendiri.

“Saya ingin menantang kenyamanan itu. Tertawa boleh, tapi tanyakan: apa yang membuatmu tertawa? Kesedihan orang lain?” tanya Afif, retoris.

Melalui adaptasi ini, tawa penonton nggak lagi sekadar reaksi, melainkan cermin moral yang memaksa kita melihat diri sendiri. Keputusan artistik paling berani adalah penggunaan arena tapal kuda. Penonton berhadapan satu sama lain, saling menyaksikan ekspresi masing-masing.

"Tidak ada sudut aman," dia menukas. “Saya sengaja membuat jarak itu hilang. Saya ingin penonton sadar bahwa mereka saling menilai, bahkan sebelum menilai Tengul.”

Salah satu adegan lakon, “Tengul” Karya Arifin C Noer yang diadaptasi oleh Teater Tigakoma (16/11) malam di Auditorium Universita Muria Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Hasilnya adalah ruang sidang moral: setiap tawa menjadi pantulan dan pandangan menjadi pertanyaan yang nggak bisa dielakkan, sebagaimana diungkapkan Farah, salah seorang penonton.

“Pertanyaannya bukan mengapa Tengul lucu, tapi mengapa kita menertawakan Tengul?” kata Farah.

Dalam ruang berbentuk tapal kuda, tawa pun berubah menjadi bukti bahwa manusia acap butuh penderitaan orang lain untuk merasa lebih aman, lebih baik, atau lebih teratur. Tigakoma berhasil menggiring penonton ke posisi nggak nyaman, bahwa mereka adalah bagian dari sistem menindih Tengul.

Salah satu adegan lakon, “Tengul” Karya Arifin C Noer yang diadaptasi oleh Teater Tigakoma (16/11) malam di Auditorium Universitas Muria Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Pada sesi diskusi, Afif pun dengan lugas berbicara tentang kecenderungan teater kontemporer yang kerap tersandung konsep hingga lupa arah.

“Tapi harus tahu apa yang ingin dikatakan. Jangan sampai estetika menutup suara manusia yang sebenarnya ingin kita dengar. Teater boleh eksperimental,” kata dia.

Gagasan ini, imbuhnya, adalah upaya untuk mengembalikan objektivitas. Pementasan ini memaksa penonton melihat tanpa ilusi. Pentas berakhir tanpa klimaks moral atau penjelasan mana yang baik dan buruk. Tiada simpulan.

"Yang tersisa adalah tanya yang menggantung; apakah kita peduli pada luka Tengul atau hanya peduli agar ia terus menghibur kita?" lontar Afif.

Salah satu adegan lakon, “Tengul” Karya Arifin C Noer yang diadaptasi oleh Teater Tigakoma (16/11) malam di Auditorium Universitas Muria Kudus. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Pertanyaan itu menohok, karena ia bukan hanya tentang Tengul, tapi lebih jauh kepada budaya menonton kita hari-hari ini, kebiasaan berkomentar, serta kesukaan menjadikan penderitaan orang sebagai konten. Di panggung, Tengul hanyalah tokoh, tapi ia bisa saja tetangga, kawan, kurir, karyawan toko, penjual gorengan, bahkan diri kita di dunia nyata.

“Tengul itu ada di sekitar kita. Kita hanya lupa menengoknya karena sibuk mengejar hidup yang juga tidak kita mengerti,” kata Afif.

Dengan produksi ke-20 ini, Teater Tigakoma bukan hanya menghadirkan karya klasik Arifin C Noer. Mereka juga meresmikan peringatan moral, bahwa di tengah hiruk pikuk dunia modern, nilai moral bukan lagi teori luhur di rak buku, melainkan sesuatu yang berdempetan dengan harga beras, kuota internet, dan tekanan hidup sehari-hari.

Dan seperti harapan Afif dalam puisinya, kelak ketika waktu membuat kita tua, semoga kita masih sempat membasuh, bukan hanya saling menertawakan. (Imam Khanafi/E10)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: