Inibaru.id - Bangunan kecil yang terletak di Jalan Wotgandul nomor 14 Semarang itu memang nggak terlihat mencolok dari jalan raya. Cuma ada pintu besi besar dan jendela dengan teralis yang selalu dibuka pada saat penyedia biji kopi ini beroperasi. Letaknya yang tersembunyi bikin nggak semua orang tahu hidden gem yang satu ini.
Ya, permata tersembunyi, demikian saya menyebutnya yang mungkin bakal diaminkan oleh pencinta kopi. Widayat Basuki Dharmowijoyo menyebut usahanya ini sebagai butik kopi. Disebut demikian karena dia menyediakan kopi berdasarkan permintaan khusus pelanggan.
“Kita menyesuaikan selera, jenis, sangrainya juga bukan sangrai yang umum,” kata lelaki 74 tahun ini.
Jika beruntung, kamu akan mendapati proses sangrai biji kopi dengan alat manual yang berumur lebih dari satu abad di dalam workshop yang jadi satu dengan toko kopi ini. Meski nggak tercium dari luar, aroma kopi yang cukup kuat sanggup menyebar dan memenuhi satu ruangan kecil tersebut.
Di sudut lain, ada belasan toples dengan berbagai biji kopi yang telah disangrai. Terlihat potongan kertas lusuh yang tertempel pada tiap-tiap toples bening memuat nama kopi berikut harga per kilogramnya.
Basuki berkisah bahwa butik kopinya tersebut merupakan peninggalan kakeknya yang merupakan pengusaha kopi pada 1916 silam.
“1916 diawali oleh kakek saya mendirikan perusahaan ini di Bandung . Kemudian pulang ke sini (Semarang) tahun 1920-an,” tuturnya.
Kakek Basuki dulu menggunakan nama Margorejo sebagai merek dagang kopinya. Keberadaan mesin sangrai kopi yang besar di gudang jadi bukti bahwa perusahaan kopi ini pernah jaya. Kini Basuki yang menjadi generasi ketiga mengganti nama dengan harapan agar brand-nya bisa dikenal hingga manca negara.
Alasan Produksi Kecil
Setiap hari, sekitar 10 kg biji kopi sangrai berpindah tangan ke pembeli yang rata-rata adalah milenial berpenghasilan. Hal tersebut nggak begitu mengejutkan mengingat tren ngopi kini populer di kalangan milenial. Di antara mereka ada pebisnis kafe juga.
Salah satunya adalah Arfan Lubis yang kali itu datang membeli stok untuk kedai kopinya.
“Biasanya beli arabica karena pada suka jenis ini,” kata lelaki ini sambil mencium kopi di dalam toples.
Berbagai kopi yang Basuki jual ini berasal dari seluruh Nusantara, lo. Dari label yang saya baca, ada kopi Sindoro honey, halu honey banana, Sindoro, Ciwidey, Mandeling, Gayo luwak, Bajawa, arabika dan masih banyak lagi. Semuanya punya penggemarnya masing-masing, tapi yang paling jadi favorit adalah kopi arabika.
Dari seluruh kopi di sini, Gayo luwak adalah kopi dengan harga paling mahal yaitu Rp620 ribu per kilonya. Yap, kopi luwak ini termasuk golongan gourmet yang nggak biasa dikonsumsi sehari-hari melainkan sesekali sebagai experience penikmatnya saja. Yang paling murah saya melihat kopi robusta Temanggung yang dibanderol Rp80 ribu.
Di balik produksinya yang terbatas, Basuki mengatakan bahwa kopi di sini memang nggak bisa dijual secara luas. Selain karena harganya yang mahal, kopi gourmet ini peminatnya hanya kalangan tertentu. Daya tahan kopi yang "lemah" juga menjadi kendala. FYI, kopi yang sudah disangrai harus segera laku, Millens. Kalau nggak, aromanya bakal perlahan menghilang.
Butik kopi ini buka setiap hari pukul 09.00 – 16.00 WIB. Basuki juga nggak segan jika diajak berdiskusi panjang lebar tantang kopi lo. Tertarik ke sini, Millens? (Zulfa Anisah/E05)