BerandaAdventurial
Sabtu, 28 Feb 2020 16:29

Dharma Boutique Roastery, Harta Karun Tersembunyi bagi Pencinta Kopi

Salah satu pelanggan butik yang tengah memilih kopi. (Inibaru.id/Zulfa Anisah)

Setiap hari, butik kopi indie yang satu ini menyangrai biji kopi dalam jumlah terbatas untuk pelanggannya. Nggak disangka, Dharma Boutique Roastery merupakan sisa dari pabrik kopi yang pernah jaya di masanya. Apa sih yang bikin istimewa?

Inibaru.id - Bangunan kecil yang terletak di Jalan Wotgandul nomor 14 Semarang itu memang nggak terlihat mencolok dari jalan raya. Cuma ada pintu besi besar dan jendela dengan teralis yang selalu dibuka pada saat penyedia biji kopi ini beroperasi. Letaknya yang tersembunyi bikin nggak semua orang tahu hidden gem yang satu ini.

Ya, permata tersembunyi, demikian saya menyebutnya yang mungkin bakal diaminkan oleh pencinta kopi. Widayat Basuki Dharmowijoyo menyebut usahanya ini sebagai butik kopi. Disebut demikian karena dia menyediakan kopi berdasarkan permintaan khusus pelanggan.

“Kita menyesuaikan selera, jenis, sangrainya juga bukan sangrai yang umum,” kata lelaki 74 tahun ini.

Jika beruntung, kamu akan mendapati proses sangrai biji kopi dengan alat manual yang berumur lebih dari satu abad di dalam workshop yang jadi satu dengan toko kopi ini. Meski nggak tercium dari luar, aroma kopi yang cukup kuat sanggup menyebar dan memenuhi satu ruangan kecil tersebut.

Di sudut lain, ada belasan toples dengan berbagai biji kopi yang telah disangrai. Terlihat potongan kertas lusuh yang tertempel pada tiap-tiap toples bening memuat nama kopi berikut harga per kilogramnya.

Jika beruntung, kamu bisa melihat proses sangrai biji kopi dengan mesin kuno ini. (Inibaru.id/ Zulfa Anisah)

Basuki berkisah bahwa butik kopinya tersebut merupakan peninggalan kakeknya yang merupakan pengusaha kopi pada 1916 silam.

“1916 diawali oleh kakek saya mendirikan perusahaan ini di Bandung . Kemudian pulang ke sini (Semarang) tahun 1920-an,” tuturnya.

Kakek Basuki dulu menggunakan nama Margorejo sebagai merek dagang kopinya. Keberadaan mesin sangrai kopi yang besar di gudang jadi bukti bahwa perusahaan kopi ini pernah jaya. Kini Basuki yang menjadi generasi ketiga mengganti nama dengan harapan agar brand-nya bisa dikenal hingga manca negara.

Alasan Produksi Kecil

Setiap hari, sekitar 10 kg biji kopi sangrai berpindah tangan ke pembeli yang rata-rata adalah milenial berpenghasilan. Hal tersebut nggak begitu mengejutkan mengingat tren ngopi kini populer di kalangan milenial. Di antara mereka ada pebisnis kafe juga.

Salah satunya adalah Arfan Lubis yang kali itu datang membeli stok untuk kedai kopinya.

“Biasanya beli arabica karena pada suka jenis ini,” kata lelaki ini sambil mencium kopi di dalam toples.

Berbagai kopi yang Basuki jual ini berasal dari seluruh Nusantara, lo. Dari label yang saya baca, ada kopi Sindoro honey, halu honey banana, Sindoro, Ciwidey, Mandeling, Gayo luwak, Bajawa, arabika dan masih banyak lagi. Semuanya punya penggemarnya masing-masing, tapi yang paling jadi favorit adalah kopi arabika.

Kopi yang baru selesai disangrai. (Inibaru.id/ Zulfa Anisah)

Dari seluruh kopi di sini, Gayo luwak adalah kopi dengan harga paling mahal yaitu Rp620 ribu per kilonya. Yap, kopi luwak ini termasuk golongan gourmet yang nggak biasa dikonsumsi sehari-hari melainkan sesekali sebagai experience penikmatnya saja. Yang paling murah saya melihat kopi robusta Temanggung yang dibanderol Rp80 ribu.

Di balik produksinya yang terbatas, Basuki mengatakan bahwa kopi di sini memang nggak bisa dijual secara luas. Selain karena harganya yang mahal, kopi gourmet ini peminatnya hanya kalangan tertentu. Daya tahan kopi yang "lemah" juga menjadi kendala. FYI, kopi yang sudah disangrai harus segera laku, Millens. Kalau nggak, aromanya bakal perlahan menghilang.

Butik kopi ini buka setiap hari pukul 09.00 – 16.00 WIB. Basuki juga nggak segan jika diajak berdiskusi panjang lebar tantang kopi lo. Tertarik ke sini, Millens? (Zulfa Anisah/E05)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024