BerandaTradisinesia
Selasa, 15 Jan 2018 10:11

Sebuah Perang Kegembiraan dan Simbol Toleransi

Perayaan Perang Topat di Lombok Barat (lombokbaratkab.go.id)

Tradisi Perang Topat di Lombok Barat ini melibatkan Islam dan Hindu dan suku Sasak dan Bali. Tradisi ini menunjukkan cara masyarakat di Lombok Barat mempraktikkan hidup damai dalam keberagaman.

Inibaru.id - Perang Topat di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini bukan perang yang menimbulkan perpecahan dan kerugian Millens, bahkan jauh dari kesan menyeramkan. Perang ini mampu menyatukan warganya dalam suasana kegembiraan dan kedamaian. Ini perang atau apa?

Dilansir dari goodnewsfromindonesia.id, (27/12/2017), Perang Topat ini menjadi tradisi masyarakat agraris Lombok Barat selama ratusan tahun yang hingga kini masih lestari. Tradisi ini menunjukkan cara masyarakat di Lombok Barat mempraktikkan hidup damai dalam keberagaman.

Tradisi turun-menurun ini melibatkan umat Islam dan umat Hindu sebagai simbol kerukunan dan toleransi beragama di Lombok Barat. Event budaya Perang Topat ini terakhir digelar pada Desember 2017 di kompleks Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Perang Topat dilakukan dengan penuh kegembiraan oleh dua unsur agama dan suku, yaitu Islam dan Hindu dan suku Sasak dan Bali. Ini sudah dilakukan turun-menurun di Pura Lingsar dan menjadi pelajaran dari para leluhur tentang cara menjaga toleransi dan silaturahmi antara dua suku dan agama di Lombok Barat. Bagaimana sejarahnya?

Baca juga:
Wayang Sasak dan Kisah Penyebaran Islam di Lombok
Terbuai Alunan Kacapi Suling

Kompleks Pura Lingsar di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, dibangun pada 1759 ketika Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali yang berkuasa di sebagian pulau Lombok. Kompleks ini bisa dibilang bangunan pura paling unik se-Nusantara karena di dalamnya terdapat dua bangunan besar. 

Ada Pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan umat Hindu dan bangunan Kemaliq yang disakralkan sebagian umat muslim Sasak dan masih digunakan untuk upacara-upacara ritual adat hingga kini.

Millens tahu, esensi prosesi Perang Topat sebenarnya merupakan pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas rezeki yang diberikan sepanjang tahun. Hal ini nggak lepas dari keberadaan mata air Langser atau Lingsar yang terletak di samping kompleks Pura Lingsar.

Masyarakat Lingsar percaya, mata air itu berasal dari bekas tancapan tongkat Raden Mas Sumilir, penyiar Islam di Lombok abad ke-15. Hingga kini mata air itu mampu mengairi pertanian bukan hanya di Lingsar saja tetapi juga hingga ke sebagian wilayah Lombok Tengah.

Perang topat selalu dilaksanakan pada hari ke-15 bulan ketujuh pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih kepitu (purnama bulan ketujuh), atau hari ke-15 bulan keenam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasih kenem (purnama bulan keenam) yang pada 2017 jatuh pada malam purnama, Minggu 3 Desember 2017. Pelaksanaan Perang Topat dimulai saat rarak kembang waru atau waktu mulai gugurnya bunga pohon waru, itu sekitar pukul 17.00 Wita.

Nah, setelah perang selesai, malam harinya umat Hindu melakukan upacara Pujawali di Pura Gaduh untuk menghormati Batara Gunung Rinjani, Batara Gunung Agung, dan Batara Lingsar, yang dipercaya sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Mahaesa. Sedangkan umat Muslim melakukan napak tilas mengenang jasa penyiar Islam, Raden Sumilir yang dipercaya merupakan penyiar Islam dari Demak, pulau Jawa.

Baca juga:
Dari Lembaran Daun Lemba Terciptalah Rompi Suku Dayak Ngaju
Tarling, Nggak Ada Matinya

Perang Topat ini merupakan prosesi religi dan budaya setiap tahun yang sudah masuk sebagai kalender of event di Lombok Barat. Ini warisan leluhur yang terus kita lestarikan sebagai kegiatan budaya dan pariwisata, tempat dua umat yang berbeda keyakinan berada dalam satu tempat melaksanakan prosesi ini.

Inilah perang yang justru melahirkan perdamaian. Semoga tradisi yang penuh toleransi ini tetap terjaga dan lestari di Lombok Baratdan mewarnai ragam toleransi di Indonesia. (LAM/SA)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024