Inibaru.id - Idulfitri, hari raya terbesar bagi umat Islam jatuh pada 1 Syawal. Namun, perayaannya nggak hanya dilangsungkan dalam sehari. Sepekan setelahnya, masyarakat Jawa biasanya akan menggelar "lebaran" lagi, yang acap disebut Syawalan, Kupatan, Bada Kupat, dan lain-lain.
Umumnya, masyarakat akan kembali memasak ketupat dan sajian lain yang mengikutinya. Lebih dari itu, sejumlah daerah juga akan menggelar festival, sedekah laut, atau kirab. Nah, di Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ada satu tradisi yang dikenal sebagai Lomban Kupatan.
Lantaran digelar di Tayu, nggak sedikit yang menyebutnya Lomban Tayu atau Lomban saja. Tradisi yang melibatkan ratusan warga Tayu ini dipusatkan di Desa Sambiroto, dengan gelaran utama melarung sesaji di muara Sungai Tayu yang langsung mengarah ke Laut Jawa.
Sesaji yang dilarung ke muara sungai yang juga dikenal sebagai Kali Silungonggo ini adalah kepala kerbau plus ekor dan empat kakinya. Sebelum dilarung, sesaji dikirab mengelilingi Desa Sambiroto diiringi parade marching band, kesenian barongan, tong tek, dan lain-lain. Di sinilah keseruan dimulai.
Dimulai sejak Pagi
Mentari baru saja merekah ketika para sesepuh Desa Sambiroto telah mempersiapkan diri. Sebelum kirab dimulai, mereka terlebih dahulu melarung kepala kambing dan ayam putih mulus. Pelarungan dilakukan di bawah jembatan Tayu.
Salah seorang warga Desa Sambiroto Lu'luatul Fajris Naini mengatakan, karnaval dan arak-arakan pengiring sesaji biasanya dimulai sekitar pukul 09.00 WIB. Kepala kerbau yang telah dihias diletakkan di atas miniatur perahu, kemudian ditempatkan pada rombongan paling depan.
"Sesaji dibawa pakai becak motor diikuti para peserta kirab menuju TPI (tempat pelelangan ikan) Tayu," terang perempuan yang karib disapa Lulu tersebut kepada Inibaru.id, Jumat (19/4/2024). "Rute arak-arakan dimulai dari Balai Desa Sambiroto menuju Pasar Tayu, lalu berakhir di TPI."
Sesampai di TPI, dia melanjutkan, sesaji didoakan bersama-sama. Setelah itu, kepala kerbau dinaikkan ke atas perahu, lalu diantarkan orang-orang ke muara sungai untuk dilarung atau dihanyutkan di tempat tersebut.
Tradisi Turun-temurun
Lomban Kupatan adalah tradisi yang telah digelar masyarakat desa sejak lama. Tradisi ini diyakini sudah dimulai sejak 1950-an. Kala itu, wedana atau penguasa setempat bersama para penggawanya rutin melakukan lomban atau menaiki perahu mengarungi Sungai Tayu tepat sekitar sepekan pasca-lebaran.
Sebagai bentuk syukur, leluhur desa ini juga menyembelih kerbau, lalu kepalanya dilarung di muara sungai. Kebiasaan ini kemudian diikuti masyarakat hingga kini. Lulu mengatakan, selain wujud syukur, Lomban Kupatan juga menjadi semacam upaya tolak bala.
"Warga Desa Sambiroto mayoritas nelayan. Jadi, selain menjadi wujud rasa syukur kepada Allah, lomban juga merupakan tolak bala, agar para nelayan dijauhkan dari hal-hal yang nggak diinginkan saat bekerja di laut, dilindungi, serta diberkahi sang Pencipta," tandas perempuan 24 tahun tersebut.
Senang sekali menyaksikan masyarakat Desa Sambiroto masih nyengkuyung budaya setempat hingga sekarang. Terlebih, masih banyak anak muda yang turut serta dalam tradisi berpotensi mendatangkan wisatawan ini. Salut untuk kalian, deh! (Rizki Arganingsih/E03)