BerandaTradisinesia
Jumat, 17 Feb 2022 09:14

Melarung Sesaji, Tradisi Sedekah Laut yang Mengakar di Pati

Sedekah laut menjadi tradisi masyarakt pesisir pantai utara (Twitter/Redaksi_5News)

Sebagai rasa syukur atas hasil laut yang melimpah, masyarakat Juwana, Pati, Jawa Tengah melarung sesaji lewat tradisi sedekah laut. Seperti apa ya keseruan dari tradisi ini?

Inibaru.id- Kamu pernah mendengar tradisi pesisir bernama sedekah laut, Millens? Nah, kalau kamu main ke Pati, tepatnya di Kecamatan Juwana, bakal bisa melihat tradisi unik ini, lo.

Di Juwana, mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Memang, hasil tangkapan nelayan belum tentu selalu banyak. Namun, masyarakat Juwana bakal tetap melakukan sedekah laut sebagai salah satu bentuk syukur atas hasil laut yang melimpah. Tradisi yang dilakukan setiap bulan Syawal ini ternyata sudah eksis dari tahun 1953, lo.

Bagi masyarakat pesisir Pantai Utara, manusia sejatinya tidak hidup sendirian, melainkan bergantung dengan alam, makhluk lain, dan Yang Maha Kuasa. Nah, melalui sedekah laut, tepatnya dengan melakukan upacara melarung sesaji, maka harmoni terhadap alam dan Yang Maha Kuasa ini bisa dijaga. Selain itu, acara ini juga dijadikan momentum untuk memanjatkan doa. Harapannya, tentu saja agar para nelayan memperoleh hasil tangkapan yang berlimpah tanpa adanya rintangan.

Urutan Pelaksanaan Sedekah Laut

Sebelum melakukan upacara sedekah laut, di malam sebelumnya bakal digelar pertunjukan wayang kulit. Nah, barulah di keesokan harinya, acara utama dimulai dengan penyerahan selendang kepada juru kunci Pantai Juwana.

Setelah itu, barisan iring-iring rombongan kesenian jaranan yang dipimpin oleh sosok berpenampilan Anoman membawa palu gada berjalan menuju pantai utara Juwana. Rombongan ini membawa kepala kerbau dan sejumlah sesaji yang ditempatkan di atas tandu.

Setelah sampai di pantai, sesepuh desa akan membaca doa dalam bahasa Jawa. Setelahnya, gunungan diletakkan diatas perahu yang berputar sebanyak tiga kali mengelilingi teluk. Usai prosesi itu, gunungan diarak menuju dermaga untuk dilarung ke tengah laut. Kemudian, pada jarak sekitar 4 kilometer dari dermaga, gunungan serta sejumlah sesaji itu dilarung.

Iring-iringan kepala kerbau dan sesaji lainnya yang diarak menuju tepian pantai (Patinews)

Oya, kalau kamu cermat, di tradisi sedekah laut ini pasti ada gunungan, miniatur kapal, atau kepala kerbau, Millens. Keberadaan benda-benda ini ternyata memiliki makna tersendiri, lo. Berikut adalah penjelasannya.

Gunungan

Biasanya, ada dua jenis gunungan yang dibuat untuk prosesi sedekah laut. Yang pertama adalah gunungan yang dilarung di laut usai didoakan oleh para sesepuh desa dan para kyai. Nah, yang kedua adalah yang bisa diperebutkan masyarakat. Khusus untuk gunungan jenis kedua, masyarakat percaya kalau mendapatkan salah satu dari isi gunungan tersebut, bisa mendatangkan keberuntungan sekaligus membuang sial, lo.

Gunungan juga menjadi penggambaran masyarakat Jawa tentang filosofi sangkan paraning dumadi yang artinya dari mana manusia berasal dan kemana manusia akan kembali.

Kepala Kerbau

Kepala kerbau merupakan simbol kemalasan, kebodohan, kesialan, dan sifat-sifat jelek lainnya. Tujuan kepala kerbau dilarung di laut untuk menjauhkan dan menghilangkan sifat-sifat buruk tadi dari manusia.

Biasanya, kepala kerbau yang digunakan berasal dari kerbau yang berusia 2 sampai 4 tahun. Setelah disembelih dan diambil kepalanya, daging kerbau akan dimasak oleh ibu-ibu nelayan dan disantap bersama setelah acara pelarungan sesaji di laut.

Miniatur kapal

Miniatur kapal merupakan media larung yang digunakan masyarakat sebagai wadah sesaji . Yang menarik, masyarakat Juwana bakal membuatnya semirip mungkin dengan kapal nelayan, lengkap dengan cantrangnya. Biasanya sih, sesaji yang ditempatkan di miniatur kapal ini adalah pisang sanggan, nasi tumpeng, nasi among, kelapa muda, kepala kerbau, ketupat dan lepet, bunga tujuh warna, dan jajanan pasar.

Wih, sepertinya acara sedekah laut di Juwana Pati ini sangat menarik, ya, Millens? (Etn/IB32/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024