Inibaru.id – Tak jauh dari jantung Kota Salatiga, tepatnya di Jalan Diponegoro, Sidorejo, berdiri megah sebuah bangunan berarsitektur unik yang menyimpan kisah kejayaan masa lampau. Bangunan itu dikenal dengan nama Istana Djoen Eng, peninggalan seorang saudagar besar yang pernah dijuluki Raja Gula dari Salatiga.
Kalau kamu berkendara dari arah Semarang atau Bawen, bangunan ini bisa kamu jumpai sekitar dua kilometer sebelum memasuki Bundaran Salatiga. Sekilas, mungkin kamu akan mengira bangunan ini hanyalah gedung tua biasa yang tertutup oleh pepohonan dari jalan raya. Namun siapa sangka, di balik temboknya tersimpan cerita kejayaan luar biasa dari seorang perantau asal Tiongkok bernama Kwik Djoen Eng.
Dari Tiongkok ke Jawa
Kwik Djoen Eng lahir di Liao Tang Sia, sebuah desa kecil di Xiamen, Tiongkok. Pada pertengahan abad ke-19, ia bersama empat saudaranya merantau ke Tanah Jawa. Di tengah geliat bisnis gula pada masa kolonial, Djoen Eng melihat peluang besar dan memutuskan fokus pada perdagangan komoditas manis ini.
Langkahnya tak main-main. Tahun 1894, ia mendirikan perusahaan dagang bersama keluarganya, lalu melebarkan sayap hingga Hong Kong lewat Ching Siong & Co. Pada 1920-an, kekayaannya diperkirakan mencapai 50 juta dolar, angka yang luar biasa, bahkan untuk masa sekarang.
Selain dikenal sebagai pebisnis ulung, Djoen Eng juga aktif dalam komunitas Tionghoa dan menjadi pendukung gerakan nasionalis Tionghoa di Jawa. Ia bahkan sempat berinvestasi di sektor pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah Tionghoa di Yogyakarta dan Semarang.
Mendirikan Istana di Salatiga
Puncak kejayaan Djoen Eng tergambar jelas dari istana megah yang dibangunnya di Salatiga. Berdiri di atas lahan seluas 12 hektare, istana ini dibangun selama empat tahun dan menghabiskan dana sekitar 3 juta gulden. Bangunannya lengkap dengan kebun kopi, lapangan tenis, kebun binatang, serta taman hias yang tertata rapi.
Yang paling mencolok adalah istana dengan empat menara berornamen khas Tionghoa yang menjulang tinggi. Konon, keempat menara itu melambangkan anak-anaknya, sedangkan kubah utama melambangkan dirinya sendiri. Oh ya, konon kubah-kubah itu dilapisi emas murni, lho!
Kemegahan yang Tak Abadi
Sayangnya, masa kejayaan itu tidak berlangsung lama. Krisis ekonomi tahun 1930 menghantam keras bisnis Djoen Eng. Ia mengalami kebangkrutan dan istananya pun disita oleh Javaasche Bank. Tak lama kemudian, bangunan itu kosong dan tak berpenghuni.
Sisa hidupnya kemudian dihabiskan di Pulau Formosa (kini Taiwan), tempat ia akhirnya tutup usia pada umur 70 tahun.
Kini, Istana Djoen Eng bukan sekadar bangunan tua, melainkan saksi bisu kejayaan dan kejatuhan seorang raja gula yang membangun impiannya jauh dari tanah kelahirannya.
Kalau suatu hari kamu lewat Salatiga, cobalah tengok istana ini. Siapa tahu kamu bisa merasakan sejenak aroma manis kejayaan masa lalu yang tersisa di antara dinding-dinding tuanya, Millens. (Arie Widodo/E07)
