BerandaTradisinesia
Senin, 28 Jan 2018 16:55

Menyayat Bambu, Menciptakan Bunyi Melung-melung, Jadilah Calung Banyumasan

Calung banyumasan (warisanbudaya.com)

Calung banyumasan terbuat dari bambu dan berlaras pelog. Seiring perkembangan zaman calung berkolaborasi dengan alat musik modern.

Inibaru – Setiap daerah tentu saja memiliki seni dan budaya masing-masing, salah satunya dalam hal seni musik. Terkenal dengan identitas bahasa ngapak, untuk kesenian musik, calung banyumasan menjadi ikonnya.

Buat kamu yang belum tahu calung banyumasan, perangkat musik ini memiliki kesamaan dengan perangkat gamelan jawa. Karena itu, calung banyumasan sering juga dinamai gamelan calung.

Seperti halnya gamelan jawa, dalam calung banyumasan juga terdapat gambang, barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong bumbung, dan kendang. Lalu apa bedanya?

Meski sekilas mirip gamelan jawa, bedanya gamelan versi calung ini terbuat dari bilah-bilah bambu yang disayat-sayat sedemikian rupa sampai melengkung hingga menghasilkan bunyi yang mirip suara gamelan sungguhan.

Mengutip tabloidpamor.com (24/3/2014), calung yang sangat populer pada 1970-an dijadikan sebagai alat musik dalam seni pertunjukan seperti lengger (seni tari) dan ebeg (kuda lumping khas Banyumas). Biasanya untuk lengger, calung ini dipentaskan pada acara hajat pernikahan, khitanan, tindik, dan keperluan ritual lainnya seperti syukuran (nazar), sedekah bumi, dan sedekah laut. Meski demikian, dalam penyajiannya calung juga dapat berdiri sendiri layaknya klenengan dalam gamelan jawa.

Oya, calung banyumasan ini sebenarnya hanya berlaras slendro dengan nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Tapi seiring perkembangannya mulai muncul variasi dari masyarakat maupun senimannya dan mengubah dengan laras pelog.

Baca juga:
Sebuah Perang Kegembiraan dan Simbol Toleransi
Tanam Tembakau Petani Itu Diawali dengan Ritual Among Tebal

Nggak hanya itu saja, pergeseran juga terjadi dalam bentuk penyajiannya. Sekitar 1997, masyarakat mulai lebih menyukai pertunjukan lengger dengan tambahan alat-alat musik modern seperti misalnya calung dengan kolaborasi organ. Jadi kamu nggak perlu heran, kalau sekarang calung Banyumasan nggak hanya mengiringi gending-gending banyumasan tetapi dapat juga sebagai pengiring lagu-lagu modern seperti dangdut, pop, dan lain-lain.

Eh, tapi kamu tahu nggak sih, dalam proses pembuatan calung, bambu yang dipilih nggak boleh sembarangan. Selain itu juga membutuhkan waktu yang lumayan lama. Bayangkan saja, mulai dari proses penebangan bambu hingga bisa dipakai untuk membuat calung bisa memakan waktu seenggak-enggaknya enam sampai delapan bulan. Wih, lama sekali, bukan?

Untuk jenis bambu yang digunakan untuk membuat calung pada awalnya sebenarnya adalah jenis bambu tutul. Namun dalam perkembangannya para pembuat calung lebih memilih bambu wulung (hitam). Akhirnya, semakin lama calung berbahan bambu tutul menghilang.

Nah, supaya menghasilkan bunyi sempurna, bambu yang dipilih harus berkualitas bagus. Bambunya harus benar-benar tua dan siap tebang, serta bersih atau bebas dari hama penyakit. Supaya bisa menghasilkan kualitas suara yang bagus, bambu yang dipergunakan juga harus benar-benar kering. Tapi bukan kering karena dijemur melainkan kering hanya diangin-anginkan saja.

Ketika sudah ditebang, batang bambunya harus dibiarkan dulu sampai kering dan rontok daun-daunnya. Sesudahnya dibersihkan ranting dan ruasnya dan dipotong-potong sesuai kebutuhan. Setelah itu diangin-anginkan lagi di atas para-para sampai benar-benar kering dan siap untuk dibuat calung banyumasan. Biasanya proses dari menebang, pengeringan hingga bisa dipakai membuat calung ini membutuhkan waktu enam hingga delapan bulan. Wah, lama sekali ya prosesnya.

Baca juga:
Jangan Masuk ke Wilayah Baduy Dalam selama Kawalu!
Wayang Sasak dan Kisah Penyebaran Islam di Lombok

Sedangkan untuk nama, kata “calung” berasal dari ungkapan “diprocol nganti melung”. Kata “diprocol” ini bisa dilihat dari bentuk calung yang berupa sayatan melengkung pada bilah bambu, sementara kata “melung” yaitu bunyi. Jadi “diprocol nganti melung” itu “menyayat batang bambu sampai menghasilkan suara yang sempurna”.

Hmm, meski calung merupakan perangkat yang sederhana, namun mampu menghasilkan aransemen musikal yang lengkap. Nggak kalah keren dengan alat musik modern bukan? (ALE/SA)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024