Inibaru.id - Perang Topat di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini bukan perang yang menimbulkan perpecahan dan kerugian Millens, bahkan jauh dari kesan menyeramkan. Perang ini mampu menyatukan warganya dalam suasana kegembiraan dan kedamaian. Ini perang atau apa?
Dilansir dari goodnewsfromindonesia.id, (27/12/2017), Perang Topat ini menjadi tradisi masyarakat agraris Lombok Barat selama ratusan tahun yang hingga kini masih lestari. Tradisi ini menunjukkan cara masyarakat di Lombok Barat mempraktikkan hidup damai dalam keberagaman.
Tradisi turun-menurun ini melibatkan umat Islam dan umat Hindu sebagai simbol kerukunan dan toleransi beragama di Lombok Barat. Event budaya Perang Topat ini terakhir digelar pada Desember 2017 di kompleks Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Perang Topat dilakukan dengan penuh kegembiraan oleh dua unsur agama dan suku, yaitu Islam dan Hindu dan suku Sasak dan Bali. Ini sudah dilakukan turun-menurun di Pura Lingsar dan menjadi pelajaran dari para leluhur tentang cara menjaga toleransi dan silaturahmi antara dua suku dan agama di Lombok Barat. Bagaimana sejarahnya?
Baca juga:
Wayang Sasak dan Kisah Penyebaran Islam di Lombok
Terbuai Alunan Kacapi Suling
Kompleks Pura Lingsar di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, dibangun pada 1759 ketika Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali yang berkuasa di sebagian pulau Lombok. Kompleks ini bisa dibilang bangunan pura paling unik se-Nusantara karena di dalamnya terdapat dua bangunan besar.
Ada Pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan umat Hindu dan bangunan Kemaliq yang disakralkan sebagian umat muslim Sasak dan masih digunakan untuk upacara-upacara ritual adat hingga kini.
Millens tahu, esensi prosesi Perang Topat sebenarnya merupakan pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas rezeki yang diberikan sepanjang tahun. Hal ini nggak lepas dari keberadaan mata air Langser atau Lingsar yang terletak di samping kompleks Pura Lingsar.
Masyarakat Lingsar percaya, mata air itu berasal dari bekas tancapan tongkat Raden Mas Sumilir, penyiar Islam di Lombok abad ke-15. Hingga kini mata air itu mampu mengairi pertanian bukan hanya di Lingsar saja tetapi juga hingga ke sebagian wilayah Lombok Tengah.
Perang topat selalu dilaksanakan pada hari ke-15 bulan ketujuh pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih kepitu (purnama bulan ketujuh), atau hari ke-15 bulan keenam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasih kenem (purnama bulan keenam) yang pada 2017 jatuh pada malam purnama, Minggu 3 Desember 2017. Pelaksanaan Perang Topat dimulai saat rarak kembang waru atau waktu mulai gugurnya bunga pohon waru, itu sekitar pukul 17.00 Wita.
Nah, setelah perang selesai, malam harinya umat Hindu melakukan upacara Pujawali di Pura Gaduh untuk menghormati Batara Gunung Rinjani, Batara Gunung Agung, dan Batara Lingsar, yang dipercaya sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Mahaesa. Sedangkan umat Muslim melakukan napak tilas mengenang jasa penyiar Islam, Raden Sumilir yang dipercaya merupakan penyiar Islam dari Demak, pulau Jawa.
Baca juga:
Dari Lembaran Daun Lemba Terciptalah Rompi Suku Dayak Ngaju
Tarling, Nggak Ada Matinya
Perang Topat ini merupakan prosesi religi dan budaya setiap tahun yang sudah masuk sebagai kalender of event di Lombok Barat. Ini warisan leluhur yang terus kita lestarikan sebagai kegiatan budaya dan pariwisata, tempat dua umat yang berbeda keyakinan berada dalam satu tempat melaksanakan prosesi ini.
Inilah perang yang justru melahirkan perdamaian. Semoga tradisi yang penuh toleransi ini tetap terjaga dan lestari di Lombok Baratdan mewarnai ragam toleransi di Indonesia. (LAM/SA)