Inibaru.id - Mengubah foto selfie menjadi avatar kian mudah dengan filter artificial intelligence (AI) yang banyak disediakan sejumlah aplikasi. Melalui fitur yang dikenal sebagai Avatar AI itu, kamu bisa memperoleh puluhan hingga ratusan avatar pelbagai style dengan kisaran harga terjangkau.
Aplikasi Lensa AI misalnya, fitur premiumnya memiliki paket 50 avatar lima gaya untuk seminggu pertama dengan biaya nggak lebih dari 3,99 dolar AS (sekitar Rp62 ribu). Untuk langganan setahun, kamu bahkan cuma perlu merogoh kocek 35,99 dolar AS (sekitar Rp562 ribu).
Kemudahan ini membuat Avatar AI cukup digandrungi masyarakat, khususya para pengguna media sosial. Bahkan, sejumlah selebritas Tanah Air juga menggunakan, lalu memamerkannya ke akun pribadi mereka.
Banyak yang bersuka cita. Namun, tahukah kamu kalau keberadaan Avatar AI ini menimbulkan kecemasan di kalangan seniman digital (digital artist), khususnya para vectorist? Oya, sebagai informasi, vectorist adalah sebutan untuk seniman digital yang fokus membuat vektor wajah.
Harga yang Jauh Berbeda
Andika Nur Usman Ridho adalah salah seorang seniman digital Semarang yang mengaku pernah merasa bingung menghadapi tren filter avatar AI ini. Menekuni profesi vectorist lebih dari empat tahun, lelaki yang akrab disapa Usman itu merasa pekerjaannya terancam dengan keberadaan fitur tersebut.
Sebagai gambaran, untuk satu vektor wajah dengan style semi-realis, fun art, atau kartun, mahasiswa Universitas Negeri Semarang itu membanderol karyanya antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Harga ini jauh lebih mahal ketimbang biaya yang harus dikeluarkan untuk langganan Lensa AI, bukan?
"Ya, tentu saja sempat gelisah, terutama pas awal tahu ada tren avatar AI dan sangat digandrungi warganet," kata Usman kepada Inibaru.id belum lama ini.
Menurutnya, keresahan yang dia alami nggak cuma perkara harga yang jauh berbeda antara avatar AI dengan rate-nya. Namun, lebih dari itu, dia mempertanyakan hak kekayaan intelektual yang mungkin dilanggar aplikasi AI tersebut.
“Informasi yang bertebaran, avatar AI ini banyak men-generate karya seniman manusia. Kalau benar begitu, ya kurang etis!” seru cowok asal Magelang itu.
Berdasarkan informasi yang berkembang, Usman menambahkan, algoritma AI pembuat avatar dilatih dengan data seniman konvensional tanpa izin dan nggak mendapatkan kompensasi apa pun. Menurut dia, inilah yang membuat banyak seniman merasa karyanya dieksploitasi.
“Namun, aplikasi AI ini kan hanya alat. Pengguna alat inilah yang harusnya diberi edukasi agar teknologi semacam ini bisa digunakan dengan lebih bijak,” tegasnya.
Terus Melakukan Eksplorasi
Kendati merasa resah, Usman enggan terus meruntuk situasi tersebut. Dia justru melihat keberadaan fitur avatar AI ini sebagai "pesaing" sehingga memacunya untuk terus berkembang dan mengeksplorasi teknik dan style baru untuk membuat vektor wajah. Bahkan, fitur itu kini justru dia jadikan referensi.
“Sudah nggak zaman sih mengeluh. Justru aku harus cepat beradaptasi biar bertahan," ungkap Usman enteng. "Lagipula, fitur avatar AI bisa menambah referensi style gambar para vectorist seperti aku juga, kok!"
Dia yakin, mau bagaimanapun, fitur avatar AI nggak akan mampu menggantikan peran seniman. Menurutnya, hasil karya goresan seniman memiliki nilai rasa yang berbeda dengan hasil editan avatar AI.
“Biar nggak kalah, vectorist harus konsisten, terus melatih skill, dan menawarkan style baru yang belum ada di pasaran,” sarannya. "Selain itu, bisa juga sekalian menyediakan jasa custom dan cetak, nggak cuma jual dalam bentuk soft copy."
Setuju dengan pendapat Usman, salah seorang pengguna filter avatar AI Moh Kholilur Rohman mengungkapkan, nggak semua karya seniman digital bisa ditiru sebuah aplikasi. Meski avatar AI menang dari segi harga, kepraktisan, dan kecepatan, nggak semua hasilnya mirip dengan foto asli.
"Ada beberapa hasil filter AI yang nggak mirip dengan foto aslinya, kok! Jadi, kalau mau sesuai keinginan ya mending pesan ke digital artist," simpul cowok yang mengaku menjajal aplikasi avatar AI karena penasaran tersebut.
Menurut dia, nggak semua pose atau gaya yang kita inginkan bisa di-generate aplikasi avatar AI dengan sempurna. So, untuk sekadar gaya-gayaan, avatar AI bisa dipakai. Namun, jika menginginkan hasil terbaik, menggunakan jasa vectorist adalah jalan terbaik.
Laiknya aplikasi avatar AI, seniman juga harus belajar dan mencari insight baru untuk berkembang dan menghasilkan karya yang jauh lebih baik. Yakinlah, seni terus berkembang dan seniman yang cepat beradaptasi akan mampu mengatasinya. Sepakat, Millens? (Rizki Arganingsih/E03)