BerandaKulinary
Senin, 11 Sep 2022 12:30

Com Tam, ‘Nasi Rames’ Khas Vietnam dari Beras Kualitas Rendah

Com tam bentuknya seperti nasi rames atau nasi campur yang terdiri atas nasi putih yang diguyur sayur dan beberapa pilihan lauk. (Asiantoprecipes)

Com tam mirip dengan nasi rames di Indonesia. Namun, kuliner lokal khas Vietnam ini menggunakan beras pecah berkualitas rendah, alih-alih beras premium untuk menciptakan masakan tersebut.

Inibaru.id – Menir atau beras pecah lebih sering dijadikan campuran pakan ternak di Indonesia. Namun, siapa sangka beras hasil sortiran ini justru menjadi bahan dasar salah satu masakan paling terkenal di Vietnam. Masakan itu bernama Com Tam.

Com Tam adalah salah satu street food yang banyak ditemukan di tiap sudut jalan di Negeri Naga Biru tersebut. Sekilas, bentuknya seperti nasi rames atau nasi campur, yang terdiri atas nasi putih yang diguyur sayur dan beberapa pilihan lauk.

Namun, berbeda dengan ramesan di Indonesia yang menggunakan nasi berkualitas baik, masyarakat Vietnam justru menyajikan com tam dengan bahan dasar berupa beras berkualitas rendah. Dalam bahasa Vietnam, “com” berarti nasi, sedangkan “tam” adalah beras pecah.

Laman Travel Fish menyebut, com tam paling banyak ditemukan di Vietnam bagian selatan. Dulu, menu kuliner kaki lima ini memang diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, yang dibanderol dengan harga murah. Namun, belakangan com tam juga bisa ditemukan di restoran mahal.

Kebanyakan com tam disajikan dengan lauk olahan daging babi khas Vietnam yang dikenal sebagai suon nuong. Lauk lainnya adalah telur goreng. Sementara, untuk sayurannya, mereka biasa menambahkan acar atau sayur fermentasi seperti kimchi di Korea.

Berawal dari Saigon

Com tam awalnya dibuat dari beras sortiran yang pecah-pecah dan nggak laku dijual. (Runaway_Rice)

Sebagian masyarakat Vietnam menyebut nasi campur ini sebagai Cơm Tấm Sài Gòn, karena dari Saigon-lah com tam berasal. Perlu kamu tahu, Saigon adalah wilayah di dekat delta Sungai Mekong yang saat ini menjadi bagian dari Ho Chi Minh City, kota terbesar di Vietnam.

Di kota yang nggak pernah tidur itu, com tam sangat mudah ditemukan. Dikutip dari Authentic Food Quest, masyarakat setempat nggak mengenal waktu dalam menikmati com tam. Ia bisa menjadi menu pagi, siang, atau malam.

Bagi mereka, com tam memang bukan sekadar makanan, tapi juga bagian dari budaya yang memiliki nilai sejarah mendalam, khususnya untuk masyarakat di sekitar delta Sungai Mekong, termasuk pinggiran Saigon, yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani.

Beras di wilayah berjuluk “Mangkuk Nasi” itu dijual ke seluruh wilayah di Vietnam. Ironisnya, mereka, terutama para petani miskin, justru mengonsumsi nasi dari beras sortiran yang pecah-pecah yang nggak laku dijual. Namun, justru dari situlah com tam tercipta.

Kuliner Lokal Lintas Ekonomi

Para penjual punya standar berbeda untuk com tam bikinannya. (AuthenticFoodQuest)

Com tam terus berkembang, lalu urbanisasi membawanya ke Saigon dan menjadi bagian dari masyarakat bahkan setelah produksi beras meningkat dan ekonomi mulai membaik sekitar 1980-an. Hingga kini, com tam menjadi kuliner lokal yang melintasi kelas ekonomi di seluruh penjuru Vietnam.

Secara umum, pemilihan kondimen pada com tam nggak ada aturannya, laiknya nasi rames di Indonesia. Para penjual punya standar berbeda untuk com tam bikinannya. Namun, yang paling terkenal adalah com tam dengan lauk potongan daging babi panggang, kulit babi iris (bi heo), atau telur.

Mereka biasa mendapatkan beras pecah dari pasar-pasar tradisional di Vietnam dengan harga sangat murah. Jenis berasnya macam-macam, tapi yang paling terkenal adalah beras pecah asal Thailand yang dikenal sebagai “beras melati”. Bentuknya kecil, lonjong, bertekstur lembut, dan beraroma wangi.

Kalau kamu tengah berkunjung ke Vietnam dan mencari kuliner murah di sana, jangan lupakan untuk mampir di kedai com tam terdekat di sekitar tempat menginapmu ya, Millens! (Siti Khatijah/E07)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024