Inibaru - Nama Heni Sri Sundani masuk ke dalam daftar "30 under 30 Asia" kategori Social Entrepreneur dari Majalah Forbes. Heni, begitu dia biasa disapa merupakan penggagas Gerakan Anak Petani Cerdas dan Komunitas AgroEdu Jampang.
Berawal dari mendidik 15 siswa di kampung Sasak, Desa Jampang, Bogor, Heni memulai gerakan Anak Petani Cerdas bersama suaminya Aditia Ginantaka pada 2012. Dalam kelompok belajar yang ia bentuk itu, selain membawakan buku bacaan ke pelosok desa, Heni juga memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak petani. Dia mengajar bahasa Inggris, literasi, matematika, bisnis, komputer, pertanian, peternakan, dan perkebunan. Hal itu dia lakukan agar taraf hidup mereka dapat meningkat.
Kini Gerakan Anak Petani Cerdas sudah tersebar di 10 kabupaten, yaitu Bogor, Ciamis, Bandung, Banjar, Tasikmalaya, Majenang, Indramayu, Cirebon, Bekasi dan Pekalongan.
Adapun komunitas AgroEdu Jampang yang juga dia bentuk bersama sang suami, merupakan komunitas yang mewadahi para petani dan keluarganya. Lewat komunitas tersebut, Heni dan suaminya ingin para petani dan keluarganya lebih mandiri dan dapat mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang sudah menjadi haknya. Selain itu, dia juga mengupayakan konsultasi bagi para petani, membantu mereka menjual hasil tani dan melibatkan petani dalam program wisata pendidikan pertanian.
Dibantu para donatur untuk urusan operasional, komunitas yang menjalankan program-programnya sejak 2013 itu kini sudah memberikan manfaat kepada ribuan keluarga yang tersebar di 40 kabupaten di Jawa dan Lombok. Sebuah kontribusi yang patut untuk diapreasi, bukan?
Lantas apa sebenarnya yang membuat Heni mau melakukan hal tersebut? Semuanya berawal dari masa kecilnya yang sulit. Ya, Heni yang anak buruh tani miskin di Ciamis tersebut memiliki masa kecil yang susah. Dia pun ingin mengubah nasibnya lewat pendidikan. Tentu saja itu bukan hal yang mudah. Dia harus merasakan pengalaman hidup yang pahit dalam menempuh pendidikan.
Bercita-cita menjadi guru, saat kecil dia harus berjalan kaki ke sekolah selama satu jam. Tamat SD dengan nilai tertinggi, dia memutuskan melanjutkan sekolah ke SMP meski mendapat cibiran banyak tetangga. Dia dianggap nggak akan bisa menyelesaikan sekolahnya karena keterbatasan biaya. Namun berbekal uang pesangon ibunya, Heni nekad mendaftar ke SMP yang jaraknya dua kali lipat lebih jauh dari SD. Berhasil lulus SMP, Heni lalu melanjutkan sekolah di SMK. Namun agar bisa membayar uang sekolah, dia juga bekerja serabutan mulai dari jadi asisten rumah tangga, jualan jilbab hingga menawarkan jasa mengetik kepada teman-temannya.
Setelah lulus SMK, lagi-lagi dia ingin meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Sayang benget, keinginan untuk kuliah dan bisa menjadi guru harus terhenti karena ketiadaan biaya. Akhirnya Heni memutuskan menjadi TKI ke Hongkong. Saat hidup di Hongkong itulah, mata Heni terbuka lebar. Dia melihat banyak peluang untuk mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
Mengutip Jawapos.com (6/5/2017), saat bekerja menjadi babysitter di Hongkong, Heni menghabiskan jatah liburnya untuk kuliah di D-3 IT Saint Mary’s University. Hal itu dia lakukan tanpa sepengetahuan sang majikan. Merasa hak-haknya selama dua tahun bekerja nggak terbayarkan sebagaimana mestinya, Heni memutuskan untuk mencari majikan baru. Beruntung majikan barunya sangatlah baik. Bahkan keluarga majikannya itu mendukungnya untuk terus menuntut ilmu. Akhirnya dia pun memutuskan mengambil kuliah S-1 di Saint Mary’s University dengan mengambil bidang bisnis di Jurusan Manajemen Wirausaha.
Untuk membiayai kuliahnya, dia nggak hanya mengandalkan gajinya saja. Memakai nama pena Jaladara, diam-diam dia juga mengirimkan tulisannya ke pelbagai koran, majalah atau tabloid berbahasa Indonesia di Hongkong serta mengikuti lomba. Nggak hanya kemampuan menulisnya yang terasah, uang kuliahnya juga terbayar. Bahkan selama enam tahun di sana, dia berhasil melahirkan 17 buku dan puluhan tulisan yang dipublikasikan di pelbagai media.
Kerja kerasnya pun berbuah manis. Heni lulus dengan predikat cumlaude dan menyandang gelar Bachelor of Science in Entrepreneurial Management. Saat itulah Heni lalu memutuskan pulang ke Indonesia. Sekembalinya di Indonesia, perempuan kelahiran 2 Mei 1987 itu melanjutkan cita-citanya yang sempat tertunda, yaitu menjadi seorang guru. Dia lantas menginisiasi program pendidikan lewat taman baca Gudang Ilmu di Ciamis. Aktivitas itu pun tetap berlanjut saat Heni sudah menikah dan pindah ke Bogor pada 2012.
Sempat menjadi guru di sekolah swasta elite dengan gaji selangit di Bogor, Heni keluar dari pekerjaannya tersebut dan memilih mengajar anak-anak petani.
Hanya satu kata untuk yang dilakukan Heni: inspiratif! (ALE/SA)