Inibaru.id – Badminton alias bulu tangkis sepertinya memang akan selalu berjodoh dengan Indonesia. Meski banyak orang menyebut popularitasnya nggak setinggi sepak bola, nyatanya olah raga ini dimainkan di mana saja, kota besar, atau desa pelosok sekalipun. Hal ini membuat kebutuhan shuttlecock untuk dimainkan dalam olah raga ini cukup tinggi.
Mengetahui tingginya kebutuhan shuttlecock di Tanah Air, banyak warga Desa Lawatan, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, yang kemudian berprofesi sebagai produsen shuttlecock. Mereka menjalani bisnis nggak biasa ini sejak 1980-an, Millens.
Salah seorang di antaranya Akhmad Husain. Dia mengaku sudah menggeluti usaha ini sejak 1980-an. Meski begitu, sebelum bikin usaha sendiri, Husain belajar cara membuat kok dulu dengan menjadi pekerja di tetangganya yang sudah membuka usaha tersebut sebelumnya.
“Awalnya saya jadi karyawan di usaha tetangga saya. Akhirnya buka sendiri dan bertahan sampai sekarang,” cerita laki-laki yang kini berusia 66 tahun tersebut sebagaimana dilansir dari Tribunjateng, Jumat (7/7/2023).
Dia pun nggak segan menjelaskan proses pembuatan shuttlecock di tempat usahanya. Dia mengaku nggak kesulitan untuk mendapatkan bahan baku karena sudah dikirim oleh pihak pengusaha atau pemesan. Merekalah yang menentukan standar dari shuttlecock yang dibuat.
Sebagai contoh, gabus pemberat dan lem yang dipakai untuk memasang bulu angsa pasti diimpor dari Tiongkok. Husain dan produsen shuttlecock lainnya di Desa Lawatan pun tinggal mengurus hal-hal lain seperti mencuci bulu angsa, lalu menggunting, menjahit, hingga memasang bulu tersebut ke gabus pemberat sampai menjadi shuttlecock siap pakai.
Bersama dengan belasan pekerja yang merupakan tetangga desanya, Husain mengaku mampu memroduksi ribuan shuttlecock yang dipasarkan di wilayah Jawa Tengah, Jawa Barat, Ibu Kota dan sekitarnya, serta Lampung.
“Per hari kami pengrajin shuttlecock bisa bikin sekitar 3.600 buah,” lanjutnya.
Terkait dengan harga shuttlecock, per pak yang berisi 12 shuttlecock bisa dihargai Rp30 ribu sampai Rp115 ribu. Perbedaan harga ini bergantung pada kualitas shuttlecock yang dijual.
Harga jual yang cukup kompetitif ini membuat Husain mampu meraup omzet harian sampai Rp 25 juta per hari. Meski terkesan tinggi, jumlah uang tersebut nantinya harus dikurangi biaya produksi. Selain itu, Husain juga mengaku omzetnya sebenarnya menurun sampai 50 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Dulu bisa sampai Rp50 juta per hari. Sepertinya memang ada penurunan market sejak awal tahun,” pungkas Husain.
Semoga saja usaha produksi shuttlecock di Desa Lawatan Tegal tetap bertahan dan bahkan semakin membaik kondisinya, ya? Jadi kita bisa tetap mendapatkan shuttlecock berkualitas untuk main badminton. Setuju, Millens? (Arie Widodo/E05)