Inibaru.id – Kalau kamu melewati Jalan MT Haryono 908, Peterongan, Kota Semarang, pasti bakal melihat gedung SMA Sedes Sapientiae. Soalnya, bangunan sekolah tersebut sangat mencolok dan berbeda dari bangunan di sekitarnya. Sentuhan arsitektur Eropa pada bangunan tersebut sangat kental. Hal ini wajar karena ternyata bangunan sekolah tersebut memang sudah eksis sejak zaman penjajahan Belanda, Millens.
Sekolah ini berada di bawah naungan Yayasan Marsudirini dan memiliki tiga jurusan, yaitu MIPA, IPS, dan Bahasa. Sekolah ini juga memiliki tiga nilai utama yang harus dihayati oleh semua warganya, yaitu ‘sapientiae’ yang berarti kebijaksanaan, ‘conseguemento’ yang berarti berprestasi, serta ‘fratellanza’ yang berarti persaudaraan.
Kalau menilik keterangan yang diunggah smasedes-smg.sch.id, sebelum populer jadi sekolah, bangunannya dikenal sebagai Biara Bangkong. Perancangnya adalah seorang laki-laki Belanda bernama Plaggen. Peletakan batu pertama bangunan ini dilakukan pada 9 Juni 1910. Setahun kemudian, tepatnya pada 27 Juni 1911, gedung ini selesai dibangun dan mendapatkan pemberkatan dari Pastur Hoevenaars SJ.
Murid-murid yang sebelumnya bersekolah di Bojong (Jalan Pemuda) kemudian dipindahkan ke Biara Bangkong. Setelah itu, bangunan tersebut semakin berkembang sebagai lokasi pendidikan. Bahkan, pada Januari 1940, pada kompleks biara terdapat Frobel School yang setara dengan TK, Lagere School yang setara dengan SD, Javaanse School yang merupakan SD untuk kaum pribumi, MULO (SMP), hingga tempat kursus mengetik serta kursus steno.
Aktivitas pendidikan sempat berhenti saat Perang Dunia II Pecah pada 1941 dan Jepang mulai menduduki Nusantara setahun setelahnya. Pada Juni 1943, bangunan Biara Bangkong bahkan dipakai tentara Jepang sebagai Kamp Interniran alias tempat menahan anak-anak dan perempuan Eropa, khususnya orang Belanda.
Terkait dengan sejarah tersebut, di depan Kapel Biara Bangkong terdapat plakat yang menunjukkan peristiwa yang terjadi antara 1943 sampai 1945 yang bertuliskan:
“Ter herinnering aan de vrouwen – jongens en mannen. Die hier geinterneerd zijn geweest Bangkong. 1943-1945.”
Jika diartikan, maknanya adalah “Untuk mengenang perempuan dan laki-laki yang pernah ditahan di sini, Bangkong. 1943-1945”.
Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada 24 Agustus 1945, Kamp Interniran akhirnya dibubarkan. Orang-orang Eropa tersebut kemudian diungsikan ke Batavia pada November dan Desember 1945. Setelah itu, bangunan sekolah ditata ulang agar bisa kembali dipakai tempat belajar-mengajar.
Sayangnya, pada April 1950, kegiatan sekolah kembali dihentikan karena bangunan sekolah dikuasai TNI. Sekitar 19 bulan kemudian, berkat negosiasi yang dilakukan Pastor van Beek dan Moeder Overste, pihak TNI akhirnya mengembalikan fungsi bangunan seperti sedia kala dan meninggalkannya.
Pada tahun yang sama, kepengurusan sekolah yang ada di Bangkong ini masih menjadi bagian dari SMA Kolese Loyola. Namun, terbitnya Surat Keputusan Departemen P&K saat itu membuat SMA Kolese Loyola 1 yang ada di Jalan Karanganyar dan SMA Kolese Loyola 2 yang ada di Bangkong harus diurus secara terpisah. Sejak 1951, SMA Marsudirini Sedes Sapientiae pun resmi berdiri di bangunan bersejarah dengan sentuhan Eropa yang sangat kuat tersebut.
Keren banget ya, Millens, bangunan SMA Sedes Sapientiae Semarang masih terawat sampai sekarang meski aslinya dibangun pada 1911 lalu. Semoga saja tetap awet karena bangunan tersebut punya nilai sejarah tinggi. (Arie Widodo/E05)