Inibaru.id - Sepuluh orang berpakaian serba putih duduk bersila menghadap tiga arca, yaitu Ganesa, Dewi Parwati, dan Lingga Yoni di bawah sebatang pohon asam. Mereka adalah para penganut Hindu yang sedang menggelar upacara Galungan di Situs Dudukan; sebuah situs seluas 30-an meter persegi di tengah lahan persawahan di Desa Blerong, Kecamatan Guntur, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
Di depan arca-arca batu andesit yang berhias kain kuning dan putih pada bagian dasarnya itu, berjajar canang sari, buah-buahan, bunga, dan dupa. Sepelemparan batu dari situ, dua panjor terpasang di gapura dan dekat pohon asam.
“Galungan itu hari raya pemujaan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan),” kata Ketua Koordinator Daerah (Korda) Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Demak I Nyoman menggambarkan acara yang digelar pada 2 Agustus 2023 silam.
Dia mengatakan, upacara itu merupakan ritual keagamaan perdana yang diselenggarakan minoritas Hindu di Demak semenjak Bupati Demak Eisti’anah menetapkan situs Dudukan sebagai cagar budaya pada 26 Oktober 2022. Bisa jadi ini menjadi yang pertama setelah lebih dari lima abad lalu atau sebelum Kerajaan Islam Demak berdiri.
Sejarah mencatat, Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang dibangun Raden Patah (Al-Fatah) pada 1474, menjelang keruntuhan Kerajaan Majapahit. Sebelumnya, Demak adalah bagian dari kekuasaan Majapahit yang bernapaskan Hindu. Masyarakatnya pun didominasi penganut Hindu.
Sejak Kerajaan Demak berdiri, kehidupan masyarakat ikut berganti jadi bercorak Islam. Penyebaran Islam oleh para wali juga makin intensif sampai-sampai membuat Demak mendapatkan julukan sebagai “Kota Wali” dengan mayoritas penduduk memeluk Islam.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 mencatat, dengan jumlah penduduk sekitar 1,2 juta jiwa, penganut Islam mencapai 1.223.785 orang, sedangkan penganut Hindu hanya 49 orang.
Nyoman bercerita, pada 12 Agustus 2022 dirinya sempat merencanakan upacara peringatan Kuningan di Demak, tapi rencana itu batal karena warga lokal mengubah posisi arca tanpa berkomunikasi dengan umat Hindu. Mereka pun pada akhirnya memilih untuk merayakannya di Pura Amarta Sari Semarang.
Situs Dudukan adalah situs Hindu tertua di Demak, terletak sekitar 7,6 kilometer dari Jembatan Onggorawe di Kecamatan Sayung, nggak jauh dari jalan raya Pantura. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Demak menyatakan situs Dudukan sudah tertulis dalam catatan Belanda pada 1914.
Situs ini tercatat dengan nomor register 193 yang menjelaskan bahwa arca Ganesa, Dewi Parwati, dan yoni di situs tersebut diperkirakan sudah ada sejak era Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-6 hingga ke-8 Masehi.
Peneliti Pusat Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN Sugeng Riyanto memperkirakan, formasi arca Dewi Parwati (Dewi Durga), Ganesa, dan lingga-yoni itu menunjukkan situs Dudukan adalah bekas candi. Namun, kondisi alam telah memengaruhi kondisi candi, baik posisi maupun bentuk arca.
Apa yang dikatakan Sugeng ada benarnya. Banjir besar di Demak pada Februari 2024 ini boleh jadi juga pernah terjadi ratusan tahun lalu. Ini jadi salah satu faktor yang ikut merusak situs-situs Hindu di wilayah itu. Dia mengatakan, kerusakan situs peninggalan masa Mataram Kuno memang paling banyak karena faktor alam, bisa banjir dan erupsi gunung berapi.
"Wilayah pesisir juga hampir sama, ketika (ada bencana) suatu peradaban atau permukiman akan ditinggalkan. Nah, (situs-situs) lama-lama runtuh,kemudian kena hujan, banjir, dan sebagainya, akhirnya rusak,” katanya.
Hal ini sesuai dengan penuturan juru pelihara situs Dudukan, Bahrul. Dia mengungkapkan, semula posisi Yoni ada di dalam tanah. Pada 1996, Yoni dikeluarkan dari “kuburannya”, lalu pada 2022 direhabititasi. Sementara, arca Ganesa ditemukan dalam kondisi wajah rusak, sedangkan Dewi Parwati dengan kondisi wajah hampir tak berbentuk.
“Patung-patung ini tidak dinaungi atap, jadi kena panas dan hujan; akhirnya korosi. Dari cerita orang tua, para pencari rumput sering memukulkan gagang sabit ke hidung Ganesa hingga membuat (hidung Ganesa) patah,’” terangnya.
Demak pada Masa Hindu
Asal usul Demak yang tertulis dalam Babad Lasem dan diterjemahkan Buchory Masrury menjelaskan, semula Demak adalah rawa bertanah lembek bernama Glagah Langu. Saat melewati wilayah ini, masyarakat yang mayoritas petani yang takut jatuh terpaksa ndemak-ndemek atau ndemeg (ngesot, berjalan dengan posisi duduk, lalu menyeret bagian panggul ke bawah). Dari situlah muncul nama "Demak".
Namun begitu, tidak banyak referensi sejarah yang menjelaskan bagaimana peradaban Hindu berkembang di Demak karena narasi yang dominan hanyalah saat Kerajaan Islam Demak berdiri pada abad ke-15. Sebelumnya, wilayah itu diyakini hanyalah sebuah kadipaten di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang dibuktikan dengan banyaknya arca Hindu dan artefak lain di sekitar pemukiman warga, termasuk di situs Dudukan, Desa Blerong.
Museum Glagah Wangi yang kusam di Demak menjadi tempat untuk menyimpan berbagai temuan itu. Ada yoni dari Kadilangu, patung boneka Ganesa dari Desa Tridonorejo Bonang, arca Siwa dari Desa Tambakroto Sayung, dan arca Resi Agastya dari Desa Candisari Mranggen.
Selain itu, ada pula arca Buddha dari Desa Tridonorejo Bonang, Trisula berbahan logam dari Kadilangu, batu alas menaruh sesaji, dan batu bundar untuk semedi masa Hindu-Buddha dari Desa Wonosalam, serta batu bata merah dengan berbagai ukuran dari Desa Wonosekar Karangawen dan Desa Tridonorejo Bonang yang diduga bagian dari bangunan candi.
Penerjemah Babad Lasem Buchory Masrury menyebutkan, temuan situs Hindu di Demak itu unik karena banyak ditemukan di selatan jalan raya Pantura, seperti di Kecamatan Karangtengah, sebagian Sayung, Guntur, dan Mranggen. Sementara, di bagian utara jalan Pantura lebih banyak ditemukan serpihan struktur kapal, misalnya di Kecamatan Bonang.
Berdasarkan pengamatannya di situs-situs Hindu di Demak, dia menyimpulkan bahwa kala itu wilayah Demak sudah ramai. Pengamat sejarah dan situs purbaka wilayah Pantura itu juga menyebutkan, bahan pembuatan arca di situs itu menggunakan dua unsur, yaitu batu karang dan andesit.
"Pada umumnya, arca berbahan dasar batu karang ditemukan di wilayah pesisir, sedangkan arca berbahan batu andesit kemungkinan bahannya berasal dari luar Demak," jelasnya. “Di daerah pesisir, arca Ganesa, Durga Mahisasuramardhini, dan Mahakala jadi semacam simbol untuk melindungi tempat itu.”
Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1992/1993) yang berjudul Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra juga memperkuat bukti bahwa kebudayaan Hindu pernah hidup di Demak. Ada dua artefak yang disebutkan, yaitu Yoni di pekarangan warga di Desa Gebang dan arca Dewi Durga dan Yoni di Desa Pidodo.
Analis Cagar Budaya dan Koleksi Museum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Demak Roni Sulfa Ali mengungkapkan, hingga kini beberapa peninggalan zaman Hindu masih ada di lingkungan masyarakat, di antaranya Situs Mbah Kopek yang menyimpan patung Dewi Durga Mahisasuramardhini dan Yoni di Desa Pidodo, Sumur Wali atau Yoni di Dukuh Kadilangon, dan arca tanpa kepala di Dukuh Bogoreco.
Roni mengatakan, tiga peninggalan yang masih di tempatnya itu belum tercatat secara resmi sebagai Objek Cagar Budaya (OCB), tapi sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) agar benda itu tetap aman. Meski begitu, Roni yakin Kemdikbud sudah menetapkannya sebagai cagar budaya pada 1992.
“Pencatatan kadang hanya sebatas alamat lokasi bangunan, kurang bentuk arca itu seperti apa, kami harus melakukan pendaftaran ulang untuk pemutakhiran,” terangnya.
Dia mengakui, saat ini situs Hindu belum menjadi prioritas untuk ditetapkan sebagai objek cagar, karena fokusnya masih pada bangunan peninggalan bersejarah. Selain itu, minimnya tenaga ahli di bidang arkeologi juga menjadi kendala untuk melakukan ekskavasi.
Demak Memasuki Masa Islam
Indra Jaya Kusuma Wardana dalam buku Historiografi Pendidikan Indonesia: Genealogi Pendidikan Karakter dalam Lipatan Kesejarahan menjelaskan, Kerajaan Demak berdiri saat Majapahit mulai runtuh, setelah Raja Hayam Wuruk dan Adipati Gajah Mada meninggal dunia.
Kekuasaan Majapahit yang melemah memberikan kesempatan bagi wilayah di pesisir seperti Tuban, Demak, Gresik, Jepara, Rembang, dan Surabaya untuk melepaskan diri, hingga akhirnya Kadipaten Demak berkembang menjadi sebuah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa.
Silvia Eka Sari dkk dalam artikel berjudul “Masa Kepemimpinan Raden Fatah Tahun 1478-1558” yang diterbitkan di Journal Sciences & Humanities ‘Estoria’ Universitas Indraprasta PGRI memaparkan, Raden Fatah adalah raja pertama di Kerajaan Islam Demak pada pertengahan abad ke-15 atau 1478. Bergelar Sultan Syah Alam Akbar, dia menjadikan Demak sebagai pusat perdagangan internasional dan penyebaran Islam.
Puncak kejayaan Kerajaan Demak terjadi pada masa kekuasaan Sultan Trenggono (1521-1546), putra Sultan Fatah. Zuliani Putri dalam Tamaddun: Jurnal Sejarah Kebudayaan Islam (2021) menuliskan, Sultan Trenggono pernah menaklukkan bekas kekuasaan Majapahit di wilayah pedalaman Jawa bagian timur saat berkuasa.
Sementara, ahli sejarah Slamet Muljana dalam karyanya yang berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negera-negara Islam di Nusantara menegaskan, semua raja kerajaan Demak adalah Tionghoa. Raden Patah alias Jin Bun, Adipati Yunus alias Yat Sun, Sultan Trenggana alias Tung Ka Lo, dan Sunan Prawata alias Muk Ming. Sedangkan Sunan Kalijaga bernama asli Gan Si Can.
Dia menuliskan, pada pertengahan abad ke-15 Laksmana Cheng Ho datang bersama rombongan besar dari Tiongkok mendarat di pantai utara Pulau Jawa (1405-1431). Mereka membangun pusat perdagangan di pantai-pantai untuk memotong jalur perdagangan Majapahit. Karena banyak yang beragama Islam, para pendatang dari Tiongkok itu juga menyebarkan Islam di Pulau Jawa.
Ahli sejarah Asvi Warman Adam dalam pengantar buku Slamet Muljana itu mengatakan, Kejaksaan Agung pada masa Orde Baru sempat melarang peredaran buku yang terbit pada 1968 itu. Dapat dimaklumi, karena narasi sejarah ini bisa mengubah persepesi orang Indonesia terhadap golongan Tionghoa yang banyak kena diskriminasi pada rezim Soeharto itu.
Sejak Kerajaan Demak berdiri, penyebaran agama Islam di Pulau Jawa juga makin luas. Salah seorang penyebar Islam waktu itu, yakni Sunan Kalijaga, menggunakan pendekatan kultural untuk mengajak masyarakat di Demak masuk Islam.
Babad Lasem menjelaskan, Pangeran RM Said Santikusuma (nama asli Sunan Kalijaga) belajar Islam yang plural dari kakeknya, Adipati Tuban, yang mengasuh pesantren di Bejagung. Dia kemudian mendapat nama Islam, yaitu Raden Mas Sahid.
Dituliskan, Sunan Kalijaga yang cerdas dan memiliki pengetahuan Islam Jawa berdialog dengan Sunan Bonang yang berkiblat Islam Arab. Khasanah kebudayaan Hindu dikemas ulang oleh Sunan Kalijaga menjadi media dakwah, misalnya wayang kulit. Cara berdakwah Sunan Kalijaga membuat dirinya dihormati masyarakat sehingga diberi gelar Panembahan ing Glagah Langu.
Sayangnya, pengangkatan Sultan Trenggono menjadi awal konflik keluarga yang berkepanjangan, karena mereka saling berebut kekuasaan. Hal ini menjadi salah satu penyebab runtuhnya Kerajaan Demak.
Raja-raja Demak yang kurang mampu merangkul masyarakat di pedalaman bekas kerajaan Majapahit turut menyumbangkan proses keruntuhan kerajaan ini. Slamet Muljana berpendapat, kala itu Demak lebih memprioritaskan kebijakan sebagai negara Islam maritim, tapi melupakan masyarakat agraris di pedalaman.
Situs Hindu dan Keberagaman di Demak
Demak adalah wilayah dengan sejarah masyarakat yang “lengkap". Awalnya, masyarakat yang berbudaya Hindu, kemudian memiliki kerajaan Islam yang semua rajanya adalah Tionghoa, dan menjadi pusat penyebaran Islam.
Sayangnya, dengan mayoritas penduduk beragama Islam dan berjuluk “Kota Wali”, citra Demak justru seakan menenggelamkan jejak sejarah Hindu di Demak. Dampaknya, situs Hindu kurang mendapat perhatian serius dan terkesan “ditutupi”.
Dalam daftar tujuan wisata di Demak, jangan harap kita bisa menemukan situs dan benda-benda peninggalan zaman Hindu ini. Tidak ada papan nama yang terpasang di pinggir jalan untuk menuntun orang yang mungkin ingin mengunjungi situs-situs seperti Dudukan atau Mbah Kopek. Yang "dijual" selalu situs-situs yang berkaitan dengan kerajaan Demak dan jejak Walisanga sebagai penyebar agama Islam, mulai dari Masjid Demak, Makam Raden Patah, hingga Sunan Kalijaga.
Mengapa? Kisah tentang orang yang ingin membangun cungkup untuk menaungi arca Dewi Durga dan Yoni di pemakaman warga yang diungkapkan Kaur Perencanaan Desa Pidodo, Sanuar, ini mungkin bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Sanuar mengatakan, sekira 10 tahun lalu, ada beberapa tokoh masyarakat yang menentang keinginan orang yang ingin membuat cungkup untuk kedua arca di Desa Pidodo. “Akhirnya, dua belah membuat pihak membuat perjanjian. Cungkup boleh dibangun tetapi tidak boleh ada 'keramaian' di situs itu,” kata dia.
Untuk diketahui, penduduk setempat yang mayoritas beragama Islam menamakan tempat itu sebagai Situs Mbok Kopek, yang dalam bahasa Jawa, kopek berarti payudara. Nama ini kemungkinan dipilih karena arca Dewi Durga tidak berbusana.
Buchory memperkirakan, situs Hindu yang tidak terlalu diperhatikan di Demak ada kaitannya dengan identitas politik lokal yang ingin dibangun oleh pemerintah daerah. Padahal, pada sisi lain, situs Hindu adalah warisan budaya yang harus dilestarikan dan perlu diketahui masyarakat luas.
Pemerintah Daerah Kabupaten Demak harus memperhatikan persoalan ini. Memperbaiki citra Museum Glagah Wangi yang menyimpan banyak barang peninggalan zaman Hindu bisa menjadi sebuah awalan. Museum yang berada di pusat Kota Demak ini perlu menjadi tempat publik yang menarik.
“Museum Glagah Wangi perlu berbenah baik secara fisik maupun organisasi serta memiliki agenda edukasi yang interaktif dan menarik. Terus, penyelamatan artefak, kajian historis, diskusi publik, penerbitan atau publikasi, dan agenda lain yang melibatkan masyarakat perlu ditingkatkan,” terangnya.
Selain itu, sejarah Kerajaan Demak juga perlu dibuka dan dikaji dengan ilmiah, termasuk perihal interpretasi bahwa semua rajanya adalah Tionghoa. Ini menunjukan betapa kaya dinamika sejarah di Demak, karena pernah ada masa ketika perbedaan etnis tidak menjadi persoalan di sana.
Penggalan sejarah Demak ini bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia yang masih sering menggunakan politik identitas dan memakai etnisitas untuk menciptakan konflik sosial. Etnis Tionghoa di Indonesia masih sering dijadikan “kambing hitam” saat terjadi konflik. Kejadian terakhir saat Reformasi 1998, ketika kerusuhan dan penjarahan toko-toko milik warga Tionghoa terjadi di beberapa kota seperti Jakarta dan Surakarta.
Sayangnya, belum banyak figur yang menampilkan kekayaan sejarah yang plural tersebut di Demak, tak terkecuali para calon wakil rakyat yang berlaga dalam Pemilihan Umum 2024 ini. Pada alat peraga kampanye di ruang publik, mereka mayoritas masih "berjualan” isu pembangunan dan perbaikan ekonomi rakyat.
Ika Mawarni, Calon Legislatif dari Partai Golkar untuk Daerah Pemilihan (Dapil) 2 bahkan mengaku tidak terlalu mengetahui perihal peninggalan kebudayaan Hindu di daerahnya. Yang diketahuinya hanya beberapa peninggalan Hindu di Masjid Agung Demak.
Namun, Ika sepakat bahwa keberadaan situs non-Islam juga perlu dirawat dan diberdayakan agar menarik daya tarik wisata daerah. “Jika kita merawat situs Hindu di Demak, nantinya bisa menjadi tempat wisata yang bisa dikembangkan,” ujarnya.
Sementara, Plt Kepala Dinas Pariwisa Demak Endah Cahyarini justru tampak lebih “pragmatis”. Menurutnya, mayoritas umat Islam sudah mengetahui dan dengan sendirinya akan datang ke Demak untuk berwisata religi. Bahkan, mereka sudah punya jadwal khusus kapan harus datang ke Demak.
“Itu keuntungan Kabupaten Demak. Kita nggak perlu promosi, sudah mendapat banyak pengunjung dengan keuntungan besar,” ujarnya.
Kendati begitu, Endah mengaku akan tetap memasukkan situs peninggalan pra-Islam dalam paket wisata sejarah agar para wisatawan mengetahui gambaran peradaban Kabupaten Demak dari masa ke masa.
“Saya berpikir itu kalau diminta, punya museum milik Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Ini masih kita bicarakan dulu,” ungkapnya.
Verdy, Ketua Padma Baswara, sebuah komunitas kebudayaan di Demak, mengaku menyayangkan kebijakan pemerintah daerah yang kurang memperhatikan dan mengangkat situs Hindu sebagai warisan budaya. Hingga kini Demak hanya menjadikan branding Islam Walisongo sebagai identitas daerah. Akibatnya, wisatawan maupun masyarakat lokal hanya tahu sejarah Demak mulai abad ke-15.
“Padahal, objek bersejarah ini penting untuk dikenalkan kepada generasi muda. Jika dikaji lebih dalam, situs ini dapat menunjukkan identitas baru bagi Demak,” ujarnya.
Sejarah sudah mengajarkan salah satu faktor yang menyebabkan Kerajaan Demak runtuh, yakni karena Demak hanya fokus pada pesisir dan kurang memperhatikan masyarakat agraris di pedalaman. Maka, penting bagi pemkab untuk memperhatikan semua jejak sejarah di Demak alih-alih fokus pada sejarah satu kelompok saja. (Sekarwati/E10)