Inibaru.id - Masyarakat Badui sudah lama dikenal memiliki ikatan yang sangat kuat dengan alam. Sejak mereka dilahirkan, Urang Kanekes, sebutan lain Suku Badui, memang telah diajari untuk selalu mengabdikan diri sebagai penjaga hutan, khususnya di Pegunungan Kendeng yang ada di sisi selatan Provinsi Banten.
Yap, mereka memang telah ratusan tahun mendiami hutan ulayat seluas 5.101 hektare tersebut. Negeri ini juga telah "menyerahkan" penjagaan tanah ulayat itu kepada Suku Badui, termasuk pengelolaannya yang diawasi oleh hukum adat.
Kedekatan orang Kenekes dengan alam ini tampak jelas dari kelestarian hutan yang terjaga dengan baik dan keselarasan hidup mereka yang jauh dari ingar-bingar perkotaan yang acap disebut sebagai modernitas. Saya yang baru kali pertama berkunjung ke permukiman mereka pun dibuat takjub dengan keseharian mereka yang begitu bersahaja.
Oya, bagi saya yang biasa tinggal di perkotaan, menempuh perjalanan menuju permukiman Badui Luar (Urang Penamping) nggak bisa dikatakan mudah. Begitu tiba di Terminal Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, saya harus berjalan kaki sekira dua jam untuk tiba di Kampung Gajebo.
Terminal Ciboleger adalah "pintu masuk" menuju permukiman Badui. Saya harus jalan kaki menelusuri jalan bebatuan, sesekali menanjak dan menurun, untuk mencapai Kampung Gajebo yang merupakan tempat tinggal masyarakat Badui Luar.
Fanatisme terhadap Lingkungan
Permukiman Badui Luar sangatlah sederhana. Semua rumah berbentuk panggung yang seluruh bangunannya terbuat dari kayu dan bambu dan beratap daun kirai atau ijuk. Mereka punya fanatisme yang tinggi terhadap lingkungan, karena itulah pantang merusak alam.
Hal ini sesuai dengan ajaran Sunda Wiwitan yang mengajarkan bahwa alam adalah sesuatu yang diagungkan dan wajib dijaga keutuhannya. Selama ratusan tahun, masyarakat Badui memengang filosofi, "Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, buyut teu meunang dirobah (Gunung dan lembah tidak boleh dirusak serta tidak boleh mengubah peninggalan)".
"Badui ada sejak kanjeng Nabi Adam turun ke bumi. Kami dari dulu di sini, tidak pernah lari atau pindah-pindah. Kehidupan kami berdasarkan ajaran leluhur," tutur Karmain, salah satu tokoh Badui Dalam yang saya temui saat tiba di Kampung Gajebo.
Menurut Karmain, keberadaan orang Badui memang ditugaskan untuk menjaga alam. Urang Tangtu, sebutan lain orang Badui Dalam, bahkan ditugasi untuk bertapa di dunia. Maksudnya, tiap aktivitas mereka nggak boleh menyakiti alam.
"Kami sebenarnya butuh kayu buat bangun rumah, tapi kami ingat kelestarian alam," ujar Karmain. "Alam juga banyak ditinggali makhluk tak kasat mata, jadi kami harus menjaganya sebagai tempat tinggal semua makhluk".
Mengandalkan Bahasa Lisan
Ajaran untuk menjaga aturan desa disampaikan masyarakat Badui hanya dengan mengandalkan bahasa lisan. Petuah apa pun diturunkan dari mulut ke mulut. Tiap tiga bulan, semua orang dikumpulkan untuk mendengar titah dari tokoh adat serta menyamakan persepsi semua orang agar nggak menyimpang.
Untuk menegakkan aturan adat, mereka memasukkan orang-orang yang dituakan sebagai "pejabat" desa, dengan jabatan tertinggi adalah Pu'un (kepala adat) dan Seurat (wakil kepala).
Di bawahnya ada Jaro Tangtu yang menindak pelanggaran hukum adat dan Baresan Salapan (dewan penasihat) yang bertugas mempertimbangkan kegiatan-kegiatan masyarakat Badui selama setahun.
Kendati menyandang predikat pejabat desa, mereka nggak tampak diistimewakan. Dalam keseharian, mereka memang tetap setara. Mereka juga pergi ke ladang, menghidupi keluarga, dan mengenakan pakaian yang sama dengan warga lainnya.
"Tidak ada pembeda atau ciri khas kalau dia seorang Pu'un. Semua masyarakat Badui seragam karena aturan adatnya sudah seperti itu," ungkap Karmain.
Nggak Memiliki Permakaman
Satu hal yang membuat saya terkejut saat berkunjung ke permukiman ini adalah ketiadaan permakaman di sana. Saat seorang Badui meninggal, jenazahnya akan dikubur setelah dimandikan dan dikafani. Namun, bekas kuburan itu pada akhirnya akan dimanfaatkan kembali untuk lahan pertanian.
Karmain mengatakan, prosesi penghormatan jenazah di Badui berangsur selama tujuh hari. Setelahnya, jenazah dianggap sudah menyatu dengan alam. Pihak keluarga juga nggak akan menyambangi kuburan tersebut untuk berziarah.
"Kalau tujuh hari setelah penguburan masih ada, berarti (jenazah) tidak diterima alam. Harus ada ritual lagi. Tapi jarang kejadian yang seperti itu," tukas Karmain.
Menarik sekali menyaksikan masyarakat Badui yang berkelindan erat dengan alam. Seumur hidup mereka menjaganya, saat meninggal pun langsung menyatu dengannya. Kalau semua orang menerapkan prinsip ini, kira-kira bumi bakal seindah apa ya? (Fitroh Nurikhsan/E03)