BerandaTradisinesia
Senin, 10 Jan 2021 17:00

Tanah Perdikan, Wilayah Tanpa Pajak untuk Para Ulama di Jawa Zaman Dulu

Masjid Pathuk Negara Taqwa Wonokromo, Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, dibangun di atas tanah perdikan anugerah Hamengku Buwono I untuk Kiai Mohammad Fakih. (Wikipedia/Fandy Aprianto Rohman)

Pada zaman dahulu, para raja di Jawa sering menghadiahkan hak istimewa atas suatu wilayah kepada seseorang yang berjasa termasuk golongan ulama. Tanah itu disebut perdikan. Semua penduduk di sana nggak perlu membayar pajak.

Inibaru.id – Nggak selamanya orang-orang yang menghuni suatu wilayah diharuskan membayar pajak kepada raja. Orang-orang yang tinggal di daerah perdikan dibebaskan dari pajak. Ini terjadi pada masa kerajaan Islam di Jawa.

Status tanah ini merupakan hadiah dari raja untuk orang-orang tertentu, termasuk ulama. Wilayah ini dipimpin kepala desa yang langsung dibawahi oleh raja. Kepemimpinan di desa ini diwariskan dari pemimpin terdahulu.

O ya, konsep desa perdikan (merdeka) ini juga sudah dikenal pada zaman Hindu-Buddha. Tujuan raja memberikan hak istimewa untuk desa perdikan yaitu untuk memajukan agama dan memelihara makam raja atau orang yang dimuliakan (atau bahkan dikeramatkan).

Selain itu, hak tersebut juga diberikan untuk orang yang memelihara pertapaan, pesantren, langgar, atau masjid, termasuk juga hadiah kepada orang atau desa yang berjasa pada raja.

Dari desa inilah, petani-petani merdeka mulai bermunculan. Salah satu contoh desa perdikan adalah Desa Seladi di kawasan Grobogan. Desa ini diberikan kepada Ki Ageng Sela pada masa kesultanan Demak.

Lalu bagaimana nasib desa perdikan pada masa penjajahan Belanda? Ternyata, statusnya tetap dipertahankan. “Staatsblad no 77 tahun 1853” menyebutkan, desa perdikan dibebaskan dari segala macam pembayaran pajak dan hak-hak desa perdikan diakui secara sah. Jadi, orang-orang dari perdikan nggak diikutkan dalam tanam paksa.

Ada juga wilayah Kadilangu yang diterima Raden Mas Sahid a.k.a Sunan Kalijaga dari Sultan Demak. Tanah tersebut sebagai tanda terima kasih karena Sunan Kalijaga membantu mendirikan Kasultanan Demak Bintoro.

Tampuk kepemimpinan daerah ini dipegang garis keturunan sang Sunan. Hingga keturunan ketujuh, mereka diberi gelar “Panembahan”, sedangkan keturunan selanjutnya hingga keduabelas, diberi gelas “Pangeran Wijil”.

Adapun Pangeran Wijil terakhir meninggal pada 11 Oktober 1880 berdasarkan isi Surat Residen Semarang No. 11338/1 tanggal 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Tanah Kadilangu Pada Zaman Kolonial

Kadilangu menjadi wilayah yang dihadiahkan kepada Sunan Kalijaga oleh sultan Demak. (Aksara)

Jangan membayangkan jika tanah Kadilangu ini hanya satu petak desa. Menurut Surat Residen Semarang No. 11338/1 tanggal 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dahulu tanah kadilangu mempunyai luas meliputi 27 desa. Luas banget kan?

Pada 1816 (masa kependudukan Inggris), 17 desa di Kadilangu diambil alih. Tanah Kadilangu yang tersisa ada 10 desa, yaitu Kauman Kadilangu, Pampang Kadilangu, Pacol, Mandungan, Dakwos, Dukuh, Jraganan, Kahiringan, Krandon, dan Kenep.

Pada 1843 Pangeran Wijil V mengusulkan untuk memasukkan Desa Kemloko dalam wilayah Kadilangu. Namun, Residen Semarang justru mengeluarkan Surat No. 11338/1 tanggal 22 Desember 1880 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Intinya, Residen Semarang menyarankan Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengambil alih tanah Kadilangu. Mereka khawatir jika suatu saat Kadilangu menjadi negara di dalam negara.

Akhirnya, hanya Desa Kauman Kadilangu yang disahkan menjadi milik Pangeran Wijil V. Alasannya, di sana terdapat makam Sunan Kalijaga.

Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 16 tentang "Pengangkatan Raden Ngabei Notobronto menjadi Kepala Kadilangu", tertanggal Buitenzorg 5 Mei 1883, secara otomatis tanah Kadilangu sudah bukan Desa Perdikan.

Satu lagi status desa perdikan yang diberikan sebagai ucapan terima kasih raja kepada ulama adalah Desa Tegalsari. Jadi ceritanya, pada 30 Juni 1742 Sunan Pakubuwono II harus meninggalkan kerajaan karena pemberontakan Sunan Kuning (Raden Mas Garendi). Dia adalah seorang pangeran keturunan Tionghoa.

Dalam pelarian, Sunan Pakubuwono sampai di Pondok Tegalsari dan akhirnya menjadi santri di sana. Oleh Kiai Hasan Besari, Pakubuwono II dibimbing agar selalu bertafakur dan bermunajat kepada Allah.

Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah, ditambah dengan keikhlasan dan doa Kiai Besari, pemberontakan berhasil diredam.

Bukan cuma menghadiahkan status perdikan pada Desa Tegalsari, Kiai Besari juga dijadikan menantu Pakubuwono II. Setelah itu, kiai alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari).

Menarik ya, Millens! Eh, coba cek silsilah desamu, jangan-jangan kamu juga lahir di tanah perdikan! Lumayan, lo, bisa bebas pajak! Ha-ha. (Isl/IB21/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Bakmi Palbapang Pak Uun Bantul, Hidden Gem Kuliner yang Bikin Kangen Suasana Jogja

2 Des 2025

Bahaya Nggak Sih Terus Menancapkan Kepala Charger di Soket Meski Sudah Nggak DIpakai?

2 Des 2025

Lebih Mudah Bikin Paspor; Imigrasi Semarang Resmikan 'Campus Immigration' di Undip

2 Des 2025

Sumbang Penyandang Kanker dan Beri Asa Warga Lapas dengan Tas Rajut Bekelas

2 Des 2025

Mengapa Kebun Sawit Nggak Akan Pernah Bisa Menggantikan Fungsi Hutan?

2 Des 2025

Longsor Berulang, Sumanto Desak Mitigasi Wilayah Rawan Dipercepat

2 Des 2025

Setujui APBD 2026, DPRD Jateng Tetap Pasang Target Besar Sebagai Lumbung Pangan Nasional

28 Nov 2025

Bukan Hanya Padi, Sumanto Ajak Petani Beralih ke Sayuran Cepat Panen

30 Nov 2025

Pelajaran Berharga dari Bencana Longsor dan Banjir di Sumatra; Persiapkan Tas Mitigasi!

3 Des 2025

Cara Naik Autograph Tower, Gedung Tertinggi di Indonesia

3 Des 2025

Refleksi Akhir Tahun Deep Intelligence Research: Negara Harus Adaptif di Era Kuantum!

3 Des 2025

Pelandaian Tanjakan Silayur Semarang; Solusi atau Masalah Baru?

3 Des 2025

Spunbond, Gelas Kertas, dan Kepalsuan Produk Ramah Lingkungan

3 Des 2025

Regenerasi Dalang Mendesak, Sumanto Ingatkan Wayang Kulit Terancam Sepi Penerus

3 Des 2025

Ajak Petani Jateng Berinovasi, Sumanto: Bertani Bukan Lagi Pekerjaan Sebelah Mata

23 Nov 2025

Sumanto: Peternakan Jadi Andalan, Tapi Permasalahannya Harus Diselesaikan

22 Nov 2025

Versi Live Action Film 'Look Back' Garapan Koreeda Hirokazu Dijadwalkan Rilis 2026

4 Des 2025

Kala Warganet Serukan Patungan Membeli Hutan Demi Mencegah Deforestasi

4 Des 2025

Mahal di Awal, tapi Industri di Jateng Harus Segera Beralih ke Energi Terbarukan

4 Des 2025

Tentang Keluarga Kita dan Bagaimana Kegiatan 'Main Sama Bapak' Tercipta

4 Des 2025

Inibaru Media adalah perusahaan digital yang fokus memopulerkan potensi kekayaan lokal dan pop culture di Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Menyajikan warna-warni Indonesia baru untuk generasi millenial.

A Group Member of

Ikuti kamu di: