Inibaru.id - Biro konsultansi asal AS McKinsey & Company pada 2016 menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terpotensial untuk industri musik digital di Asia Tenggara. Penggunanya didominasi anak muda. Ini tentu saja kian membenamkan potensi bisnis rilisan fisik musik di Nusantara.
Oya, perlu kamu tahu, rilisan fisik adalah album atau kumpulan lagu hasil rekaman penyanyi yang diwujudkan dalam bentuk vinyl (piringan hitam), kaset, CD, dan lain-lain. Dalam beberapa tahun terakhir, di samping karena maraknya pembajakan, para penyanyi memang tampak mulai melirik musik digital karena cara itu dianggap lebih mudah.
Maka, menyoal rilisan fisik di era sekarang tentu bakal dianggap ketinggalan zaman. Kemudahan akses dan kepraktisan dalam mendengarkannya, membuat musik digital lebih digandrungi, khususnya di kalangan anak muda.
Namun, agaknya hal ini nggak berlaku bagi Isac Anggito. Di rumahnya, beragam rilisan fisik terserak di mana-mana. Beberapa rak berisikan kaset pita dari berbagai penyanyi. Pada sudut yang lain, ada kumpulan CD, bersanding dengan kotak-kotak kayu berisikan piringan hitam yang bersampul rapi.
Lelaki asal Kota Semarang tersebut memang telah lama mengoleksi rilisan fisik. Sebagian besar koleksi itu adalah album dari band-band kesukaannya. Saat ini dia paling gandrung dengan rilisan fisik jenis piringan hitam.
Sebelum berkecimpung dengan vinyl, lulusan Sastra Inggris Universitas Diponegoro Semarang ini lebih dahulu mengenal kaset pita. Dia mengaku, perkenalannya dengan musik berawal dari ayahnya, yang sering memutar kaset pita sewaktu dia masih kecil.
“Dari ayah yang sering mutar lagu dari kaset pita, saya akhirnya mulai beli sendiri,” terang Isac sembari memamerkan sejumlah koleksi rilisan fisik kepunyaannya.
Hobi itu terus berlanjut hingga dia memasuki bangku kuliah. Baru pada 2019 lalu Isac mulai beralih mengoleksi piringan hitam.Vinyl perdananya adalah Geography (2018), album kepunyaan band indie asal Jakarta, Bedchamber.
Vinyl dipilihnya karena kendati mahal, perekam suara yang memerlukan turntable untuk memutarnya ini justru jauh lebih awet dibanding rilisan fisik lainnya. Bentuknya bagus. Perawatannya juga nggak ribet.
Sejak itulah Isac mulai gandrung pada piringan hitam. Satu per satu dia beli cakram perekam lagu tersebut dari hasil ngejoki tugas kuliah dan skripsi. Dia bahkan mulai menyeriusi perburuan vinyl begitu tahu ada peluang bisnis dari hobi tersebut.
Berbuah Keuntungan
Isac mengaku nggak pernah menyesal memiliki hobi yang terbilang jarang dilakukan anak muda seumurannya, terlebih setelah tahu ada pundi-pundi uang yang bisa didulangnya dari piringan hitam.
“Ada teman yang nawar vinyl saya dengan harga yang lebih mahal waktu saya beli. Nah, sejak itu saya jadi melihat peluang bisnis pada hobi ini,” ungkapnya, lalu tertawa.
Untuk memuluskan usahanya, dia mendirikan toko rilisan musik di rumahnya, yang diberi nama Rusa Record Store. Dari usaha ini, Isac mengaku pernah meraup untung hingga lebih dari Rp 1 juta hanya dengan menjual satu album vinyl Scum Fuck Flower Boy (2017) kepunyaan Tyler, The Creator.
Dia pun kemudian membeberkan, rilisan fisik yang spesial dan terbatas umumnya memang bisa terjual sampai jutaan, kendati modal yang dikeluarkannya untuk memberi vinyl tersebut seringnya hanya ratusan ribu.
"Yang spesial bisa untung berlipat," ujar lelaki yang saat ini nggak hanya menyasar pasar lokal, tapi juga internasional tersebut.
Sukes terus untuk Isac! Kalau kamu berminat menjadikan hobi sebagai ladang bisnis, cobalah menguliknya lebih detail ya, Millens! (Bayu N/E03)