BerandaPasar Kreatif
Jumat, 4 Mei 2023 14:00

Hidup Sejahtera sebagai Seniman Tari di Kota Semarang, Mungkinkah?

Salah satu ritual yang ditampilkan sebelum menyajikan pertunjukkan Tari Barongan Blora. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Nggak pernah dianggap sebagai kota budaya, bisakah hidup sejahtera sebagai seniman tari di Kota Semarang?

Inibaru.id - Berbeda dengan Solo atau Yogyakarta yang begitu kental dengan gelaran seni tari hingga acap disebut "Kota Budaya", Semarang hampir nggak pernah mendapatkan julukan itu. Maka, pernahkah kamu bertanya, bisakah seorang seniman tari hidup sejahtera di ibu kota Jawa Tengah ini?

Menanggapi hal ini, seniman tari dari Semarang Endik Guntaris hanya tersenyum. Namun, sejurus kemudian dia mengiyakan. Lelaki kelahiran Blora itu mengaku mampu bertahan di Kota Lunpia sebagai penari profesional.

"Saya mampu kuliah hingga jenjang S3 juga berkat menari," ujar lelaki lulusan Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu kepada Inibaru.id nggak lama setelah menampilkan Tari Barongan Blora pada peringatan Hari Tari Sedunia di Taman Indonesia Kaya Semarang, 29 April silam.

Kendati enggan menyebutkan secara spesifik bayarannya sekali pentas, Endik menuturkan, profesi seniman tari sejatinya cukup menjanjikan. Dia bahkan nggak setuju kalau profesi sebagai penari hanya bisa dijadikan sebagai pekerjaan sampingan alih-alih penopang hidup.

"Menjanjikan, kok. Namun, tentu saja dengan 'syarat dan ketentuan', ya!" kelakarnya. "Untuk menjadi penari profesional, setidaknya perlu menguasai seni pertunjukkan juga."

Adaptif dan Jalin Relasi 

Penari profesional dituntut untuk mempelajari pelbagai disiplin ilmu. (Inibaru.id/ Fitroh Nurikhsan)

Kunci untuk menjadi penari profesional, menurut Endik, yakni mampu beradaptasi dengan pelbagai disiplin ilmu. Selain itu, yang nggak kalah penting adalah kemampuan menjalin relasi. Kedua hal itu, lanjutnya, mampu membantu seniman tari berkembang.

"Sedari kecil tumbuh kembang saya nggak jauh dari hiruk-pikuk kesenian tradisional sehingga bakat saya berkembang secara alamiah. Namun, saya juga perlu menggalinya lebih jauh di kampus," papar lelaki yang mengaku suka menjadi seniman tari karena ingin selalu menghibur masyarakat.

Keputusan Endik mengambil kuliah jurusan Seni Tari di Unnes rupanya berbuah manis. Di situlah dia menemukan jalan untuk menjadi penari profesional. Lelaki yang selain menguasai berbagai tarian tradisional juga piawai memerankan wayang orang ini mengaku senang karena tujuannya bisa dicapai.

"Seni tari jelas menyajikan keindahan. Senang banget melihat senyuman masyarakat menyaksikan saya menari. Siapa sih yang nggak suka menghibur orang?" ujarnya.

Penuh Kesungguhan

Faktor penting menjadi penari profesional adalah sungguh-sungguh saat berlatih. (Inibaru.id/Fitroh Nurikhsan)

Hal serupa juga dituturkan pelatih tari Sanggar Sabokartti Semarang Toto Pamungkas. Lelaki yang akrab disapa Toto itu mengaku telah hidup mandiri sedari SMA berkat pekerjaan sebagai pelatih tari. Dia bahkan nggak pernah menjalani profesi lain selain melatih menari.

"Para seniman tari secara ekonomi bisa hidup, tapi harus menjalaninya dengan penuh kesungguhan," ungkapnya di tengah peringatan Hari Tari Sedunia di Semarang, Sabtu (29/4).

Menurut Toto, mencapai titik puncak bagi seorang seniman tari bukanlah perkara gampang. Mereka harus bersungguh-sungguh saat berlatih dan mendengar segala kritikan. Pekerjaan yang dilakukan dengan setengah-setengah dan nggak profesional, lanjutnya, nggak akan membuat seniman berdaya.

"Saya senang karena anak muda Semarang kian ke sini semakin banyak yang tertarik belajar seni tari, baik yang klasik, modern, atau kontemporer. Antusiasme dan kemauan mereka berlatih juga luar biasa!" pungkas Toto.

Nah, untuk kamu yang tertarik menjalani profesi sebagai seniman tari profesional, khususunya di wilayah Kota Semarang, sudah tahu apa yang harus dilakukan, bukan? (Fitroh Nurikhsan/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT

Ikuti Tren Nasional, Angka Pernikahan di Kota Semarang Juga Turun

9 Nov 2024

Belajar dari Yoka: Meski Masih Muda, Ingat Kematian dari Sekarang!

9 Nov 2024

Sedih dan Bahagia Disajikan dengan Hangat di '18x2 Beyond Youthful Days'

9 Nov 2024

2024 akan Jadi Tahun Terpanas, Benarkah Pemanasan Global Nggak Bisa Dicegah?

9 Nov 2024

Pemprov Jateng Dorong Dibukanya Kembali Rute Penerbangan Semarang-Karimunjawa

9 Nov 2024

Cara Bijak Orangtua Menyikapi Ketertarikan Anak Laki-laki pada Makeup dan Fashion

9 Nov 2024

Alasan Brebes, Kebumen, dan Wonosobo jadi Lokasi Uji Coba Program Makan Bergizi di Jateng

9 Nov 2024

Lebih Dekat dengan Pabrik Rokok Legendaris di Semarang: Praoe Lajar

10 Nov 2024

Kearifan Lokal di Balik Tradisi Momongi Tampah di Wonosobo

10 Nov 2024

Serunya Wisata Gratis di Pantai Kamulyan Cilacap

10 Nov 2024

Kelezatan Legendaris Martabak Telur Puyuh di Pasar Pathuk Yogyakarta, 3 Jam Ludes

10 Nov 2024

Warga AS Mulai Hindari Peralatan Masak Berbahan Plastik Hitam

10 Nov 2024

Sejarah Pose Salam Dua Jari saat Berfoto, Eksis Sejak Masa Perang Dunia!

10 Nov 2024

Memilih Bahan Talenan Terbaik, Kayu atau Plastik, Ya?

10 Nov 2024

Demo Buang Susu; Peternak Sapi di Boyolali Desak Solusi dari Pemerintah

11 Nov 2024

Mengenang Gunungkidul saat Masih Menjadi Dasar Lautan

11 Nov 2024

Segera Sah, Remaja Australia Kurang dari 16 Tahun Dilarang Punya Media Sosial

11 Nov 2024

Berkunjung ke Museum Jenang Gusjigang Kudus, Mengamati Al-Qur'an Mini

11 Nov 2024

Tsubasa Asli di Dunia Nyata: Musashi Mizushima

11 Nov 2024

Menimbang Keputusan Melepaskan Karier Demi Keluarga

11 Nov 2024