Inibaru.id – Soto menjadi salah satu masakan khas Indonesia yang mungkin bisa kamu temukan di rumah makan atau restoran kenamaan, dengan harga yang lumayan wah. Namun, kondisi ini sangat berbeda pada awal kemunculan soto pada abad ke-19 di Nusantara.
Kala itu, soto adalah makanan berkuah dengan isian daging atau jeroan. Inilah yang membuat soto dipandang sebelah mata para bangsawan kelas atas di Hindia Belanda. Mereka menganggap soto sebagai makanan yang sangat berlemak dan nggak sehat.
Oya, perlu kamu tahu, sebelum di-"naturalisasi", masakan ini semula dibawa imigran dari Kanton, Tiongkok, yang datang ke pesisir utara Jawa. Dalam bahasa Hokkian, soto berasal dari kata cau do yang berarti jeroan berempah.
Selain kurang sehat, soto yang dijajakan dengan cara dipikul atau didorong di gerobak juga dianggap nggak higienis. Terlebih, para penjual memasarkannya di pinggir jalan, yang otomatis penuh debu.
Alhasil, soto dianggap sebagai makanan kelas bawah. Anggapan itu berkaitan dengan isu higienitas yang sangat diperhatikan kalangan menengah atas pada abad ke-19.
Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land (2018) mengatakan, gaya hidup kalangan atas Hindia Belanda terkesan mewah dan super-higienis, bahkan rasisme sering ditunjukkan dalam sajian makanan dari kalangan pribumi.
Soto mulai diterima banyak kalangan seiring dengan berkembangnya zaman. Dari yang awalnya dipikul dan dijajakan di persimpangan pasar, soto beralih dijajakan di warung-warung kecil, yang kebanyakan dijual nggak jauh dari kawasan pecinan.
Hal ini sesuai penuturan Ary Budiyanto, antropolog asal Universitas Brawijaya Malang. Dia mengatakan, hampir di tiap daerah soto masih dijajakan di sekitar area pecinan, yang bisa dilihat di warung soto legendaris di pelbagai tempat.
Beberapa warung soto yang berada nggak jauh dari pecinan di antaranya Soto Kudus yang ada di Panjunan, Kudus. Lalu, ada Soto Semarang di derah Bangkong, dan Soto Tegal di Senggol.
Pada satu sisi, pamor soto yang naik kelas tentu bagus untuk upaya melestarikan salah satu menu kuliner yang hampir selalu ada di tiap daerah tersebut. Namun, harga yang terlalu mahal juga membuat makanan berkuah itu hanya bisa dinikmati kalangan tertentu saja. Jadi, harus gimana dong? (IB03/E03)