Inibaru.id - Pada zaman dulu di Jawa, raja mempunyai hak istimewa dalam menyantap daging. Eits, daging ini sangat nggak biasa lo, seperti kambing yang belum keluar ekornya, penyu badawang, babi liar pulih, babi liar matinggantungan, dan anjing yang dikebiri.
Mungkin kamu bakal berpikir kalau makanan-makanan itu sangat menggelikan. “Tapi itu dulu dimakan. Misalnya asu buntungan, anjing yang tak punya buntut. Lalu cacing. Itu dibuat masakan,” kata Lien Dwiari Ratnawati, peminat kuliner, arkeolog, dan kepala Subdirektorat Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Nah, makanan-makanan yang nggak biasa dan diperuntukkan khusus raja ini dalam teks kuno disebut rajamangsa.
Rajamangsa terdiri dari dua kata yaitu raja dan mangsa. “Rajamangsa secara harfiah berarti makanan raja, makanan yang khusus disediakan untuk raja,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang.
Makanan yang termasuk rajamangsa diperuntukkan bagi penguasa tertinggi kerajaan, baik di kerajaan pusat (maharaja) maupun di kerajaan bawahan (raja).
Catatan Rajamangsa
Istilah rajamangsa ditemukan dalam kitab Purwadigama, Siwasasana, dan transkrip prasasti milik H. Kern (VG VII.32f dan VIIIa). Dia adalah ahli epigrafi Belanda. Dalam tulisannya dia menyebut wangang amangana salwir ning rajamangsa, badawang baning, wedus gunting, asu tugel, karung pulih.
“Wedus gunting artinya kambing yang belum keluar ekornya; baning itu penyu, kura-kura; karung itu babi hutan, diberi sebutan karung pulih, kata pulih bisa jadi menunjuk pada babi dikebiri,” kata Dwi.
Dalam transkripsi prasasti milik epigraf lainnya, A.B. Cohen Stuart, dengan kode CSt 7 disebutkan karung mati ring gantungan. Masih ada lagi, Millens, pada kumpulan transkripsi prasasti milik J.L. Brandes terdapat sebutan lain; asu ser.
Karung mati ring gantungan, kata Dwi, mungkin menunjuk pada babi yang ditangkap mati dalam jerat. Asu tugel artinya anjing yang dikebiri atau dengan sebutan asu ser. Kata ser mungkin artinya sama dengan sor, yang berarti dikebiri, yang ditandai dengan memotong ekornya (asu buntung).
Dalam Prasasti Rukam (907 M), Prasasti Sarwwadharmma dari masa Singhasari (1269 M), dan Prasasti Gandhakuti (1043 M), juga disebut makanan yang hanya boleh disantap oleh raja: badawang, wedus gunting, karung pulih, dan asu tugel.
Menukil makalah Arkeolog Universitas Indonesia, Kresno Yulianto Sukardi, yang berjudul, “Sumber Daya Pangan Pada Masyarakat Jawa Kuno: Data Arkeologi-Sejarah Abad IX-X Masehi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, wedus gunting diterjemahkan sebagai kambing muda yang belum keluar ekornya. Sedangkan karung pulih ialah babi hutan aduan.
Ternyata selain raja, ada golongan yang dibolehkan mencicipi hidangan itu lo. Mereka adalah orang-orang yang menerima anugerah (waranugraha) dalam upacara sima.
Pada umumnya, hak untuk memakan hidangan khusus raja itu dikeluarkan sejak masa Mpu Sindok hingga masa Kerajaan Majapahit. Begitu yang ditulis Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa.
“Anugerah berupa hak istimewa, dia dan keluarganya diperkenankan untuk menyantap menu khusus raja itu,” kata Dwi.
Hm, kira-kira kamu doyan nggak nih, Millens? (His/IB21/E03)