Inibaru.id – Musim karnaval memang sudah berakhir sebagaimana bergantinya bulan Agustus ke bulan September. Tapi, bukan berarti kabar tentang kehebohan sound horeg di berbagai daerah bakal hilang. Nyatanya, potongan-potongan video tentang hiburan rakyat yang cukup kontroversial ini terus bermunculan di media sosial.
Ada video yang memperlihatkan truk pembawa sound horeg nggak bisa belok karena terhalang atap sebuah warung sehingga atap tersebut harus dibongkar dulu. Ada juga video yang menunjukkan lampu jalan dibongkar agar truk pembawa sound horeg bisa lewat. Selain itu, ada juga sound horeg yang dipasang di atas kapal dan dinyalakan keras-keras di tengah laut.
Selain video-video di atas, warganet Indonesia sudah kenyang dengan banyaknya video yang mengungkap betapa dahsyatnya gelegar suara sound horeg yang bisa memecah kaca jendela atau menghancurkan genting rumah. Tapi, yang mengherankan, banyak orang-orang yang bisa dengan santai mendengarkan atau bahkan menari-nari di dekat sound horeg tersebut.
Pertanyaan pun muncul, apakah suara sound horeg yang luar biasa dahsyatnya itu nggak berbahaya bagi manusia? Terkait dengan hal ini, pakar dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang juga Ketua Kelompok Riset Radio Frekuensi, Microwave, Akustik, dan Photonik Pusat Riset Telekomunikasi Organsisasi Riset Elektronika dan Informatika bernama Hana Ariresa menyebut suara sound horeg sebenarnya cukup berbahaya bagi telinga manusia, Millens.
“Suara itu ada tekanan dan gelombangnya. Nah, di dalam telinga kita kan ada selaput gendang telinganya. Kalau selaput itu terpapar gelombang suara yang kencang dengan tekanan tinggi, bisa saja pecah,” ucap Hana sebagaimana dilansir dari Detik, Rabu (21/8/2024).
Karena sound horeg adalah budaya yang bisa dikatakan baru, wajar jika belum ada penelitian yang menunjukkan seberapa besar efek suaranya bagi telinga manusia. Tapi, tetap saja ada potensi selaput gendang manusia pada akhirnya bisa rusak akibat kerap terpapar suara yang sangat kencang.
“Memang banyak orang yang berada di dekat sound horeg nggak langsung mengalami pecah gendang telinga. Tapi andai paparannya sering, terus menerus, atau lama, bisa saja akhirnya gendang telinga nggak lagi kuat menahannya,” lanjut Hana.
Apa yang diungkap Hana ada benarnya. Apalagi, di dalam peraturan yang diungkap Kementerian Tenaga kerja, yaitu Kepmenaker nomor per-51/MEN/1999, disebutkan aturan bahwa batas toleransi manusia mampu menangkap suara dengan kebisingan 85 desibel hanyalah 8 jam saja per hari atau 40 jam per minggu. Makanya, di banyak tempat kerja di mana suara-suara yang kencang atau bising kerap muncul, pekerjanya memakai headset untuk melindungi telinganya.
Sebagai contoh, para pekerja yang nggak jauh dari deru suara mesin pesawat, staf pembalap F1 atau MotoGP, atau di sejumlah pabrik, memakai headset karena alasan yang sama.
Setiap orang memang punya batas toleransi yang berbeda-beda untuk menerima suara yang kencang dari sound horeg. Yang pasti, tentu ada orang yang nggak tahan mendengarkannya atau bahkan khawatir rumahnya akan rusak akibat suara tersebut. Tentu nggak etis bukan kalau akhirnya kekhawatiran mereka diabaikan begitu saja, Millens? (Arie Widodo/E05)