Inibaru.id - Ahmed Amarneh tinggal bersama keluarganya di Desa Farasin, Tepi Barat bagian utara, Palestina. Di desa ini, Israel bersikeras harus membangun perumahan baru dengan meruntuhkan rumah-rumah warga yang dibangun tanpa izin Zionis.
"Saya mencoba dua kali untuk membangun (rumah), tetapi otoritas pendudukan (sebutan warga Palestina untuk menyebut Israel) mengatakan, dilarang membangun di daerah tersebut," kata Amarneh kepada AFP, seperti ditulis Arab News, Selasa (11/8/2020).
Baca Juga:
Sisi Eksotis Mangunharjo, Tempat yang Pernah Ramai di Twitter karena Cerita Horor 'Sigar Bencah'Pada 1990-an, Perjanjian Damai Oslo memberi Palestina pemerintahan sendiri di Tepi Barat. Namun, sekitar 60 persen wilayah yang dijuluki Area C, tempat Desa Farasin berada, tetap di bawah kendali penuh sipil dan militer Israel.
Meski ilegal secara hukum internasional, Israel tetap mengalokasikan tanah di daerah ini, yang digunakan untuk pembangunan permukiman Yahudi.
Nah, yakin nggak bakal dapat izin mendirikan bangunan, Amarneh pun membangun rumah di dalam gua, yang dalam bayangannya nggak mungkin disebut ilegal, di kaki bukit yang mengarah ke Farasin. Otoritas Palestina (PA) juga setuju mendaftarkan tanah itu atas namanya.
Dengan keterampilan pertukangnya, Amarneh membuat pintu kayu untuk menutup jalan masuk gua. Dia juga membuat dapur, ruang tamu, dan ruang tidurnya, istrinya yang sedang hamil, dan putri mereka. Ada juga ruang khusus untuk tamu.
COGAT, cabang militer Israel yang bertanggung jawab atas urusan sipil di Tepi Barat, mengatakan bahwa penggusuran ini dilakukan karena “struktur yang dibangun secara ilegal, tanpa izin dan persetujuan yang diperlukan".
Amarneh mengaku terkejut lantaran disebut membangun sesuatu yang ilegal. Asumsinya, dia nggak membangun karena sejatinya gua tersebut memang sudah ada di situ.
Sementara, kepala dewan setempat Mahmud Ahmad Nasser mengatakan, Farasin dibangun oleh orang Arab pada 1920. Desa ini kemudian ditinggalkan selama Perang Enam Hari pada 1967, ketika Israel menklukkkan Tepi Barat Yordania.
Namun, sejak 1980-an, eks warga desa itu kembali ke daerah tersebut. Kini, Nasser mengungkapkan, populasinya sekitar 200 jiwa.
Peristiwa penggusuran, di mana pun itu, selalu menyisakan tangis pilu, termasuk apa yang mungkin akan dialami Amarneh dan keluarganya. Semoga ada penyelesaian yang menguntungkan kedua belah pihak ya, Millens! (MG33/E03)