Inibaru.id – Zaman penjajahan Jepang menyisakan banyak kisah, nggak terkecuali bagi rakyat Yogyakarta. Pada masa itu pula, nggak sedikit korban jiwa yang jatuh akibat program kerja paksa atau yang lebih dikenal dengan istilah romusha.
Saat korban jiwa di provinsi lain berjatuhan, Yogyakarta pun diam-diam melakukan perlawanan dengan memanipulasi penjajah.
Setelah dilantik oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang, Dorodjatun atau yang diberi gelar Sultan Hamengku Buwono IX diberi wewenang untuk mengurus pemerintahan Yogyakarta. Melihat banyaknya korban jiwa yang meninggal akibat kerja paksa, Sultan Hamengku Buwono IX berusaha melindungi rakyatnya.
Dalam pertemuannya dengan Jepang, dia memanipulasi statistik terkait penduduk dan hasil panen. Dia juga mengatakan bahwa wilayah Yogyakarta nggak sesubur wilayah lain.
Panjang Selokan Mataram mencapai 30 kilometer. (Panduan Wisata)
Saat itu pula, beberapa desa seperti Karangwuni, Sogan, Ngentak, Dukuh, dan Modinan juga menjadi wilayah yang terendam banjir. Banjir yang datang pada Januari 1943 ini menimbulkan gagal panen dengan jumlah kerugian yang besar.
Bencana alam ini menjadi alasan Sultan Hamengku Buwono IX meminta dana pada Jepang untuk membangun saluran air. Nggak disangka, permintaannya dipenuhi Jepang. Saluran air sepanjang 30 kilometer ini menjadi penyelamat warga dari romusha.
Hingga kini Selokan Mataram masih menjadi saluran air penghubung Sungai Opak dan Sungai Progo. Kamu yang tertarik melihatnya sesekali bisa menyempatkan waktu untuk menyusuri selokan ini dengan bersepeda. Sambil menunggu matahari tenggelam, tentu makin asyik jika menyusurinya bersama teman.
Eh, jika Yogyakarta punya Selokan Mataram sebagai saksi sejarah, adakah tempat di wilayahmu dengan sejarah yang serupa? Coba bagikan kisahmu dengan sobat Millens lainnya, ya! (IB15/E03)