BerandaTradisinesia
Selasa, 6 Jan 2025 17:20

Setengah Milenium Kota Kretek; Mari Mengenang Ulang Pendiri Kudus Jafar Shadiq!

Diskusi Kebudayaan 'Menyongsong 500 Tahun Kudus'. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Jafar Shadiq dikenal sebagai pendiri Kudus. Namun, hingga kota itu berusia hampir setengah milenium, masih banyak yang belum mengenal sosok bergelar Sunan Kudus ini secara mendetail.

Inibaru.id – Nama besar Jafar Shadiq nggak lepas dari sejarah berdirinya Kabupaten Kudus. Anak dari Imam Masjid Demak Sunan Ngundung ini memang tercatat sebagai pendiri kabupaten yang terletak di lereng Muria itu. Namun, seberapa banyak kamu mengenal sosok tersebut?

Sebagai salah seorang ulama Walisongo yang menjadi perintis penyebaran Islam di Tanah Jawa, Jafar Shadiq dikenal luas sebagai figur spiritual besar. Namun, nggak sedikit yang mengenalnya sebatas itu tanpa mengetahui kedalaman jejak hidupnya secara mendetail.

Siapakah Jafar Shadiq?

Keberadaan sosok bergelar Sunan Kudus ini dalam sejarah Nusantara sejatinya jauh lebih besar dari "sekadar" mendirikan Kudus atau menyebarkan Islam. Hal ini sebagaimana diungkapkan budayawan Irfan Afifi dalam sebuah diskusi yang digelar di Kudus beberapa waktu lalu.

"Peran yang diembannya bukan hanya keagamaan, tetapi juga politik dan hukum,” tuturnya dalam diskusi bertajuk Menyongsong 500 Tahun Kudus: Jejak Laku Syaikh Jafar Shadiq dalam Membentuk Peradaban Kudus yang Sejahtera, Harmoni, dan Takwa itu.

Afifi menyebutkan, sebagaimana dicatat dalam Hikayat Hasanudin Banten, Sunan Kudus adalah Imam ke-5 Masjid Demak dan putra dari Imam ke-4, yaitu Sunan Ngudung. Artinya, dia memiliki tanggung jawab besar dalam tata hukum masyarakat serta stabilitas pemerintahan pada masa awal Kerajaan Demak.

“Tugas utama Sunan Kudus, sebagaimana tertulis dalam manuskrip yang saya pelajari, adalah menciptakan tata hukum masyarakat sekaligus sistem peradilannya," tegas budayawan asal Yogyakarta tersebut. "Beliau dikenal sebagai ulama fikih yang sangat mumpuni!”

Peran Jafar Shadiq dalam Ilmu Fikih

Lebih dari sekadar mendirikan Kudus atau menyebarkan Islam, Jafar Shadiq juga dikenal sebagai ahli fikih atau hukum Islam. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Peran Sunan Kudus sebagai ulama fikih, lanjut Afifi, nggak hanya mencakup wilayah Demak. Dia adalah simbol dari tegaknya tata hukum yang mengedepankan syariat Islam dalam pemerintahan untuk cakupan wilayah yang jauh lebih luas.

“Sunan Kudus melihat bahwa stabilitas tata masyarakat hanya bisa dicapai melalui pemerintahan hukum syariat yang sifatnya lahir, bukan pendekatan hakikat dan makrifat semata,” jelasnya.

Menurut Afifi, visi Sunan Kudus semasa hidup benar-benar berhasil membentuk karakter masyarakat Kudus secara umum hingga sekarang. Hal inilah yang menurutnya membuat warga Kudus terlihat "berbeda" dari masyarakat santri lainnya di Jawa.

“Beliau menekankan pentingnya disiplin dalam agama, semangat juang dalam ekonomi, dan sikap menerima budaya lokal tanpa menolak identitas masyarakat yang telah ada,” tuturnya di hadapan para peserta diskusi. "Beliau memadukan nilai-nilai lokal dengan ajaran Islam, misalnya dengan nggak menyembelih sapi yang dihormati masyarakat setempat kala itu."

Jafar Shadiq dan Sejarah Kudus

Afifi merupakan satu dari tiga pemantik diskusi pada hari itu; sementara dua lainnya adalah pemerhati sejarah dan kebudayaan Kudus Moh Aslim Akmal dan Ketua Paguyuban Ketoprak se-Kabupaten Pati Lek Mogol. Diskusi ini diinisiasi Yayasan Almanar Kudus.

Pendiri Yayasan Almanar Kudus Maesah Agni mengatakan, diskusi kebudayaan ini sengaja digelar sebagai langkah awal untuk mengenal lebih detail tentang Jafar Shadiq. Sebab, menurutnya, hingga kini sosok dan sejarah Sunan Kudus tersebut belum cukup digali dan dijelaskan secara mendalam.

“Belum ada yang mendetailkan sosok beliau, sehingga ketika ada yang mengusulkan revisi Hari Jadi Kudus dengan berpijak pada sejarah Sunan Kudus saja banyak yang masih gagap,” ujarnya saat membuka diskusi.

Revisi yang dimaksud Maesah mengacu pada wacana merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1990 tentang Hari Jadi Kudus. Isu yang mencuat, Hari Jadi Kudus yang diperingati tiap 23 September dinilai rancu dan kurang memiliki dasar keilmuan yang kuat.

Menyoal 'Hari Lahir' Kudus

Diskusi 'Menyongsong 500 Tahun Kudus' adalah upaya untuk mencari titik terang terkait wacana merevisi 'Hari Jadi Kudus' yang saat ini dianggap kurang tepat. (Inibaru.id/ Imam Khanafi)

Sebelum nama Kudus muncul, wilayah di lereng Muria ini dikenal sebagai "Tajug". Singkat cerita, Jafar Shadiq mendirikan Masjid Menara Kudus yang kemudian jadi acuan "Hari Lahir" Kudus. Sayangnya, menurut Maesah, penetapan tanggal kelahiran Kudus berdasarkan perda yang sekarang kurang tepat.

“Ketika saya membaca naskah akademis yang melatarbelakangi perda tersebut, seharusnya jika dikonversi ke penanggalan Masehi, Hari Jadi Kudus jatuh pada 2 Oktober,” ungkap Maesah.

Bahkan, dia menambahkan, berdasarkan pembacaan prasasti batu di mihrab masjid, tanggal yang lebih relevan adalah 19 Rajab 956 Hijriyah, yang jika dikonversi ke Masehi menjadi 23 Agustus 1549. Maka, dia berharap diskusi yang diinisiasinya tersebut bisa menjadi momentum untuk meluruskan sejarah.

"Sejarah Hari Jadi Kudus perlu diluruskan. Masyarakat perlu memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang akar peradaban mereka. Jadi, usulan ini perlu ditindaklanjuti secara serius oleh Pemkab Kudus,” tutup Maesah dengan penuh ketegasan.

Dalam diskusi, Maesah dkk tentu nggak sekadar menyoal angka dan tanggal, tapi juga upaya untuk melestarikan warisan sejarah di wilayah yang kini telah berusia hampir setengah milenium, sembari mengenang ulang Jafar Shadiq sebagai pendirinya. (Imam Khanafi/E03)

Tags:

ARTIKEL TERKAIT