Inibari.id – Pegunungan Muria telah lama dikenal sebagai rumah bagi pelbagai satwa eksotis, nggak terkecuali burung pleci. Di wilayah tersebut, setidaknya ada tiga jenis burung pleci utama, yakni Pleci Kristal, Pleci Keruh, dan Pleci Putih.
Sedikit informasi, Pleci (Zosterops) merupakan jenis burung pengicau yang mudah dikenali dari lingkaran putih di matanya, yang membuatnya acap pula disebut sebagai burung kacamata. Mereka tersebar di wilayah Afrotropis, Indomalaya, dan Australasia.
Sebagai burung pengicau, pleci juga dikenal dengan suaranya yang khas. Di Pegunungan Muria misalnya, pleci kristal atau lebih sering disebut sebagai Pleci Muria mudah ditandai dengan suara “cing”-nya yang jernih dan melodius.
Setyawan Rahayu, pencinta burung cum pegiat lingkungan dari Yayasan Penggiat Konservasi Muria (Peka Muria) mengungkapkan, suara khas pleci kristal sering menjadi daya tarik pehobi. Alhasil, mereka banyak diburu orang dan populasinya pun terancam.
Surga Para Burung
Wawan, begitu Setyawan biasa disapa mengungkapkan, selain lingkaran mata berwarna putih mencolok, pleci muria secara fisik bisa dikenali dari warna bulunya yang dominan hijau zaitun dan corak kuning pada bagian dada. Tubuhnya kecil dan ramping.
"Sebagai burung koloni, pleci sering hidup berkelompok, yang (suara mereka yang saling bersaut-sautan) menambah daya tarik mereka di hutan," paparnya.
Dia mengenang, hutan di kawasan Muria, terutama di sekitar Colo (Kudus), memang pernah menjadi surga bagi para burung. Kala itu, masyarakat masih sangat peduli terhadap kelestarian alam. Lebih dari 118 spesies burung tercatat, termasuk pleci muria.
"Sayang, tren gantangan (lomba burung kicau) membawa dampak signifikan pada populasi mereka," keluh lelaki berambut sebahu tersebut. “Pleci yang juara biasanya langsung diburu pehobi. Harga pasaran naik, lalu banyak yang berusaha menangkap mereka, membuat populasi mereka berkurang signifikan."
Kicauan yang Mulai Menghilang
Saat ini, Wawan melanjutkan, nggak hanya pleci muria yang populasinya terancam. Beberapa jenis burung seperti Anis Kembang, Anis Merah, atau Plontang bahkan sudah sangat sulit ditemukan di kawasan Muria. Burung-burung ini hampir punah akibat perburuan liar dan permintaan pasar yang tinggi.
"Mereka (pencari burung) memburu burung dengan memikat (menangkap dengan menjebak) mereka di alam liar," terangnya.
Lokasi seperti Candi Angin dan Argo Piloso menjadi sejumlah titik yang banyak diincar pemburu. Wawan mengatakan, dampak perburuan liar itu cukup signifikan. Candi Angin misalnya, yang dulu dipenuhi kicau burung anis merah mulai jarang terdengar belakangan ini.
“Kami sudah sering mengimbau pemburu untuk berhenti memikat burung, tapi mereka masih saja masuk hutan dengan diam-diam," geramnya.
Upaya dan Tantangan Pelestarian
Meningkatnya perburuan liar memunculkan tantangan besar dalam pelestarian burung di Pegunungan Muria. Wawan pun menekankan pentingnya sosialisasi kepada masyarakat sekitar terkait kondisi wilayah mereka saat ini. Lalu, para pemikat burung di alam liar juga perlu dikenai sanksi untuk memberikan efek jera.
“Kalau hanya melarang tanpa edukasi, masalahnya tidak akan selesai. Harus ada pendekatan ke masyarakat dan sosialisasi yang lebih intens,” tegasnya. "Edukasi bisa lewat tokoh masyarakat dan sekolah-sekolah."
Wawan sedikit lega karena saat ini telah muncul sejumlah komunitas lokal seperti tempatnya bernaung yang melakukan upaya konservasi, misalnya dengan menjaga keberadaan pohon endemik yang menjadi habitat asli burung-burung; misalnya pohon kembang dan woh gandeh tempat koloni pleci.
“Kami juga mencoba membuat program adopsi burung. Jadi, masyarakat bisa memelihara pleci hasil penangkaran, bukan dari hasil tangkapan liar. Dengan begitu, populasi di alam tetap terjaga,” paparnya.
Sosialisasi ke Desa-Desa
Wawan dkk menyadari, menjaga eksistensi pleci muria di alam bukanlah hal mudah. Karena itulah Yayasan Peka Muria yang menaungi mereka terus melakukan sosialisasi ke desa-desa sekitar hutan di Muria.
“Kami ajak masyarakat untuk melihat dampak panjang dari perburuan liar ini. Kalau burung hilang, ekosistem juga terganggu. Pola pikir seperti ini yang ingin kami tanamkan," ungkapnya.
Bentuk pendekatan tersebut, lanjutnya, memang butuh waktu dan tidak bisa langsung berhasil karena kebiasaan masyarakat memikat burung tersebut sudah berlangsung sejak lama, bahkan diwariskan secara turun-temurun.
"Namun, segala upaya harus dilakukan, karena pleci muria adalah simbol dari keindahan alam Muria yang telah memberi kehidupan untuk mereka juga," serunya.
Kicauan untuk Generasi Mendatang
Wawan optimistis, dengan langkah pelestarian yang tepat seperti mendukung penangkaran legal, memberikan edukasi kepada masyarakat, dan memperketat aturan terkait perburuan liar, impiannya nggak akan berakhir sebagai isapan jempol belaka. Meski butuh waktu, dia berharap perlahan populasi pleci di Muria bisa pulih.
“Kami ingin anak-cucu kami nanti masih bisa mendengar suara merdu pleci di hutan Muria,” kata Wawan penuh harap.
Menurutnya, Pegunungan Muria dengan segala kekayaan alamnya bukan hanya milik generasi sekarang tapi juga generasi mendatang. Dia menegaskan, suara merdu pleci muria dan keberadaan spesies lainnya harus tetap menjadi bagian dari harmoni alam yang lestari.
Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa keindahan ini tidak hanya menjadi cerita masa lalu. Dengan bersinergi antara masyarakat, pemerintah, dan komunitas konservasi, Pegunungan Muria bisa tetap menjadi rumah bagi pleci dan kekayaan hayati lainnya. (Imam Khanafi/E03)