Inibaru.id – Banyak orang mengira jika istilah ‘banyak anak banyak rezeki’ berasal dari ajaran agama. Tapi, sejumlah penelitian justru menunjukkan kalau istilah ini muncul pada zaman tanam paksa, zaman di mana masyarakat Nusantara sangat menderita pada zaman penjajahan Belanda.
Tanam paksa ditetapkan pada 1830 oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Saat itu, pemerintah kolonial ingin meningkatkan komoditas ekspor seperti teh, kopi, dan kakao. Pada akhirnya, banyak masyarakat Nusantara yang terpaksa bekerja keras selama bertahun-tahun di lahan pertanian.
Lantas, apa kaitan antara tanam paksa dan istilah ‘banyak anak banyak rezeki’? Hal ini dibahas dalam Seminar Nasional bertajuk Sastra: Merajut Keberagaman, Mengukuhkan Kebangsaan yang digelar Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia Komisariat Universitas Negeri Yogyakarta pada 2017 lalu.
Dalam seminar tersebut, dijelaskan tentang penelitian yang dilakukan Ben White berjudul Munculnya Filosofi ‘Banyak Anak Banyak Rizki’ Pada Masyarakat Jawa Masa Cultuurstelsel. Ternyata, pada masa tanam paksa, kebutuhan tenaga kerja di bidang pertanian melonjak drastis.
Dalam penelitian yang dilakukan pada 1973 tersebut, terungkap bahwa pada masa tanam paksa, para petani langsung diberi tanah garapan. Beda dengan pada zaman sekarang, tanah sulit didapatkan. Pada saat itu, tanah bisa langsung dibagi-bagikan ke penduduk, dengan syarat, mereka mau menanam sebagaimana yang ditentukan pemerintah kolonial dan membayar uang sewa tanah.
Karena lahan yang luas dan tuntutan hasil pertanian yang tinggi, masyarakat Jawa pun menganggap keberadaan anggota keluarga yang banyak akan membantu mereka menggarap pertanian. Sejak saat itulah, banyak petani di Nusantara yang memutuskan untuk memiliki banyak anak. Mereka menganggap anak-anak nanti bisa menjadi tenaga kerja tambahan yang membantu menyelesaikan tuntutan pekerjaan di lahan pertanian.
Hal ini juga diungkap Ong Hok Ham dalam buku Madiun Dalam Kemelut Sejarah. Pada masa tanam paksa, setidaknya 64 persen keluarga, baik itu istri, anak laki-laki, serta anak perempuan ikut dipekerjakan pada lahan-lahan pertanian.
Dampak dari hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan penduduk yang sangat signifikan di eks-Karesidenan Madiun, Jawa Timur. Pada 1831, kawasan tersebut hanya memiliki sekitar 200 ribu jiwa. Pada 1867, jumlah penduduknya bahkan sudah melebihi 683 ribu!
Pertambahan penduduk yang sangat cepat ini terjadi di hampir seluruh wilayah Jawa di mana tanam paksa diterapkan. Hal ini membuat pada zaman dulu, wajar melihat sebuah keluarga memiliki anak lebih dari 5 orang.
Lantas, bagaimana bisa istilah ‘banyak anak banyak rezeki’ yang berawal dari tuntutan pada zaman tanam paksa bergeser seakan-akan berasal dari ajaran agama? Kalau menurut Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Nurul Irfan, sepertinya berasal dari penafsiran surah Al-Hud ayat 6.
Dari ayat tersebut, disebutkan bahwa Allah menjamin rezeki setiap mahluk hidup di dunia.
“Walau demikian, kita nggak boleh berpangku tangan dan mengharapkan rezeki itu diberikan begitu saja oleh Allah,” jelasnya terkait dengan ayat tersebut sebagaimana dilansir dari Pikiran Rakyat, (22/1/2022).
Kalau kamu, apakah meyakini istilah ‘banyak anak banyak rezeki’ juga, Millens? (Arie Widodo/E10)