Inibaru.id – Wajik diyakini sebagai kudapan klasik yang sudah ada sejak Zaman Majapahit. Ada masa ketika jajanan bercita rasa legit ini banyak dijumpai di pasar-pasar tradisional. Namun, kini wajik mulai jarang ditemukan, kecuali saat ada hajatan.
Begitu jarang ditemukan di pasaran bukan berarti penganan berwarna cokelat tua yang kadang dimodifikasi menjadi hijau dan merah tersebut nggak banyak diminati. Bagi orang Jawa, wajik tetaplah istimewa, karena merupakan sajian wajib yang harus ada di resepsi pernikahan atau upacara tradisional lainnya.
Mungkin karena proses pembuatan yang tricky dan memakan waktulah yang membuat orang-orang segan memproduksi sendiri lalu menjualnya di pasar. Harga jualnya juga nggak terlalu tinggi; nggak jauh berbeda dengan penganan modern yang cara bikinnya jauh lebih praktis dan singkat.
Membuat penganan berbahan dasar beras ketan ini memang bukan pekerjaan mudah. Prosesnya lama, tenaga yang dibutuhkan besar, dan perlu ketelatenan untuk memperoleh hasil yang memuaskan; yang pulen, nggak lengket, dan legit saat digigit.
Dimasak selama Dua Hari
Pengalaman membuat wajik belum lama ini saya lakoni, saat menggelar mitoni atau syukuran tujuh bulan masa kehamilan saya di Dukuh Lempuyang, Desa Surjo, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang. Kesan saya, prosesnya sungguh melelahkan, tapi hasilnya memuaskan.
Pembuatan wajik di desa kami membutuhkan waktu dua hari dua malam. Hari pertama dihabiskan untuk membuat minyak kelapa, lalu hari berikutnya untuk memasak adonan wajik.
Munah, salah seorang juru masak kami mengatakan, bahan baku utama pembuatan wajik hanyalah empat macam, yakni beras ketan, minyak kelapa, gula merah, dan gula pasir. Namun, untuk mengolahnya nggak bisa dilakukan seorang diri.
"Pembuatan wajik dibagi menjadi dua tim, terdiri atas dua orang peracik dan empat orang pengaduk," terang Munah. “Tim pengaduk harus laki-laki, karena butuh tenaga ekstra untuk mengaduk ketan.”
Memakai Tungku Kayu
Meski yang terlibat dalam persiapan hajatan kami cukup banyak, tim peracik tetaplah para lansia. Mungkin karena cuma mereka yang benar-benar mengetahui takaran resepnya, yang biasanya merupakan warisan turun-temurun.
Kalaupun ada anak muda yang turut serta, biasanya mereka hanya membantu saat membuat minyak kelapa. Di Batang, Munah menerangkan, wajik biasanya masih menggunakan cara tradisional, termasuk untuk membuat minyak kelapa sendiri.
Baca Juga:
Seni yang Hidup dan Menghidupi Seniman"Kami masih pakai tungku kayu; tujuannya agar api lebih terkontrol dan wajik punya aroma yang khas," akunya.
Selain itu, tungku kayu dipilih juga untuk alasan penghematan. Munah menyebutkan, jika memakai kompor gas, sekali masak wajik bisa menghabiskan 2-3 tabung melon.
Dimulai dengan Membuat Minyak Kelapa
Proses pengolahan wajik dimulai dengan membuat minyak kelapa. Munah mengatakan, minyak kelapa itulah bahan inti dari pembuat wajik. Sebanyak tujuh kelapa tua diparut, lalu diberi air dan diperas menjadi santan, menghasilkan sekitar tujuh liter santan.
"Santan kemudian dimasak di atas wajan selama kurang lebih tiga jam hingga mengeluarkan minyak," jelasnya. "Proses ini harus dilakukan paling awal, karena menjadi inti dari pembuatan wajik."
Setelah minyak kelapa jadi, Munah melanjutkan, barulah beras ketan dikukus hingga matang atau tanak. Kemudian dilanjutkan dengan memasak ketan bersama minyak kelapa, gula pasir, dan gula merah.
"Takaran gulanya sesuai selera. Nah, di sinilah pengalaman peracik diuji," kelakar Munah.
Memasak saat Tengah Malam
Oya, ada satu kebiasaan menarik saat memasak wajik di Batang. Munah menuturkan, proses pembuatan wajik biasanya dilakukan saat tengah malam. Alasannya, menyesuaikan waktu luang para tukang masak dan menjaga kualitas wajik agar tetap fresh saat mau disajikan.
"Bagian (memasak wajik) ini umumnya dipegang para lelaki. Sambil menunggu racikan selesai, mereka biasa duduk-duduk di beranda rumah hingga pasukan komplet; ngopi-ngopi sembari menyiapkan tenaga," ujarnya.
Meski kesannya "cuma" mengaduk, proses ini nggak boleh dilakukan asal-asalan, lo. Adonan wajik harus diaduk searah biar merata dan nggak tumpah. Mengaduknya juga kontinyu, terus-menerus hingga adonan mengental dan berwarna kecokelatan, menandakan wajik sudah matang.
"Jika sudah matang, adonan dituang ke dalam tampah berukuran sedang, lalu dipotong-potong (berbentuk jajaran genjang/ wajik) untuk dibagikan ke tetangga," tandas Munah, yang kemudian mempersilakan saya mencicipi buah karyanya tersebut.
Wajik yang saya cicipi bertekstur kenyal, lembut, tapi nggak lengket di tangan saat dipegang. Aromanya harum dengan rasa legit yang seimbang, nggak bikin enek. Mewah banget. Kamu harus coba!
Eh, kalau menurut kamu, penganan manis seperti wajik ini paling cocok dinikmati pas momen apa, Millens? (Sekarwati/E03)