Inibaru.id – Tawa riang anak-anak menggema di Dukuh Piji Wetan, Desa Lau, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, beberapa waktu lalu. Di bawah rindangnya pepohonan, di tanah lapang belasan anak terlihat saling berkejaran, berlari, kadang saling berlompatan. Di antara mereka, nggak ada satu pun yang bermain ponsel.
Hari itu, bocah-bocah tampak asyik terlibat dalam berbagai permainan tradisional yang diinisiasi oleh Komunitas Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW). Ini anomali, mengingat hari-hari mereka sekarang hampir nggak lepas dari gawai.
Permainan tradisional seperti egrang bambu, egrang bathok, estafet kayu, dakon, lompat tali, hingga dino boi yang sebelumnya mungkin nggak pernah mereka kenal, kini ada dalam genggaman. Secara bergantian, mereka menjajal satu per satu permainan. Hangat sekali.
Sepertinya, Kampung Budaya Piji Wetan berhasil membawa anak-anak ini ke "dunia lain", menjauhkan sejenak dari gawai yang sebelumnya begitu sulit lepas dari tangan. Saat ini, komunitas tersenit memang tengah menggagas kampanye darurat gadget.
"Ini merupakan inisiatif yang dikonsep untuk mengurangi ketergantungan anak-anak pada perangkat elektronik dan media sosial," kata sang ketua komunitas, Muchamad Zaini. "Permainan tradisional kami pilih karena sarat dengan nilai edukasi, kreativitas, dan kebersamaan yang seringkali terabaikan pada era digital."
Masih Relevan Dimainkan
Zaini berharap, kegiatan semacam ini bisa menginspirasi lebih banyak pihak untuk menjaga warisan budaya dan menghadirkan alternatif positif bagi anak-anak di tengah derasnya arus teknologi.
"Melalui permainan ini, kami ingin menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak selalu ada di layar gadget. Ada dunia nyata yang lebih seru untuk dijelajahi," jelasnya. "Permainan ini juga masih relevan untuk dimainkan sekarang ini."
Antusiasme anak-anak dan dukungan orang tua menjadi bukti nyata bahwa permainan tradisional masih relevan sebagai sarana hiburan yang mendidik. Selain anak-anak, para orang tua juga dilibatkan dalam beberapa permainan.
Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengatakan, kegiatan ini sangat menarik. Dia bersyukur anaknya bisa mengenal dolanan tradisional sekaligus berterima kasih atas segala upaya yang dilakukan para penggawa KBPW.
"Anak-anak jadi lebih aktif bergerak dan belajar bekerja sama. Ini kegiatan yang sangat positif," ujarnya.
Alat Edukasi yang Kaya Nilai Budaya
Koordinator kegiatan Freeda Jaharotun Nasisah mengungkapkan, selain sarana hiburan, permainan tradisional juga menjadi alat edukasi yang kaya nilai budaya. Dolanan seperti egrang, lompat tali, dan congklak misalnya, melatih anak berpikir strategis, bekerja sama, dan mengenal konsep matematika sederhana.
“Di dalamnya juga ada nilai gotong royong dan kejujuran yang diajarkan secara alami dalam permainan ini,” ujar Ida, sapaan karibnya.
Menurutnya, di tengah arus digitalisasi yang semakin pesat, anak-anak sangat mudah terpapar teknologi, bahkan hingga kecanduan. Kalau dibiarkan, dampaknya bisa serius, karena anak jadi lebih mudah marah, tantrum, bahkan kesehatan mental mereka terganggu.
“Karena itulah kami ingin memperkenalkan kembali permainan tradisional kepada anak-anak. Selain menyenangkan, permainan ini juga punya banyak manfaat untuk tumbuh kembang mereka, terutama dalam membangun hubungan sosial,” jelasnya.
Merangsang Kemampuan Motorik
Ida mengatakan, kegiatan ini akan diadakan secara rutin di kampung budaya ini setiap Selasa dan Jumat. Menurutnya, permainan tradisional perlu diperkenalkan terus-menerus karena bermanfaat untuk merangsang kemampuan motorik anak.
Berbeda dengan aktivitas di dunia digital yang cenderung pasif, permainan tradisional melibatkan gerakan fisik yang dapat memperkuat otot, meningkatkan koordinasi tubuh, dan melatih keseimbangan. Hal ini penting untuk mendukung perkembangan fisik anak, terutama selama masa tumbuh kembang mereka.
Lebih lanjut, dia juga menyoroti interaksi sosial yang terbangun dalam permainan tradisional, yang menurutnya sangat berharga. Anak-anak diajak untuk saling berbicara, bekerja sama, dan menyelesaikan konflik kecil yang muncul selama bermain.
“Ini menjadi dasar dari keterampilan sosial yang akan mereka butuhkan saat dewasa nanti; berbeda dengan teknologi yang justru sering membuat anak-anak asyik sendiri di dunia maya,” jelasnya.
Belajar Mengelola Emosi
Ida menambahkan, permainan tradisional akan membantu anak-anak mengelola emosi, misalnya menerima kekalahan dalam permainan gobak sodor atau menyikapi kemenangan saat main petak umpet. Mereka akan belajar menghargai lawan main dan memahami pentingnya fair play.
“Ini semua bagian dari pendidikan karakter yang penting,” tukasnya. "Jadi, saya berharap (kegiatan) ini bukan sebatas nostalgia, tapi akan menjadi bagian dari kehidupan anak-anak masa kini."
Ida memang berpikir, permainan tradisional harus diperkenalkan kembali kepada generasi muda agar nggak kehilangan koneksi dengan warisan budaya lokal. Sebab, melalui permainan tradisional, kita sebetulnya telah menjaga identitas budaya serta merawat sejarah dan nilai-nilai leluhur.
Menurutnya, cara ini akan berterima karena permainan tradisional nggak kalah menyenangkan. Orang tua dan guru bisa ikut andil dengan mengajarkan dan melibatkan anak-anak dalam permainan ini. "Jika anak-anak punya lebih banyak pilihan, dengan sendirinya mereka nggak akan bergantung pada gawai,” tutupnya.
Kata Para Pendamping
Permainan anak yang digelar di halaman Kampung Budaya Piji Wetan nggak hanya diperuntukkan bagi anak-anak. Pendamping yang mengantar para bocah itu pun turut menikmati keseruan memainkan dolanan yang mungkin mereka sendiri sudah lupa atau bahkan nggak pernah kenal.
Ika Lutfiati Putri, misalnya, mengaku turut terlarut dalam permainan tersebut. Pendamping berusia 20 tahun ini mengatakan, permainan tradisional benar-benar menyenangkan. Menurutnya, sangat penting untuk terus melestarikan dolanan-dolanan tersebut.
“Anak-anak sekarang terlalu sering bermain gadget yang sebetulnya berdampak buruk terhadap kesehatan fisik dan mental mereka. Dengan begini (beraktivitas dengan permainan tradisional), mereka jadi bisa lebih aktif bergerak dan menjalin interaksi sosial,” simpulnya.
Hal senada juga diungkapkan Langlang Isaka. Seperti Ika, pendamping 21 tahun asal Blora ini juga merasakan bahwa dolanan tradisional sangat seru dan bisa untuk olahraga; misalnya dalam permainan lompat tali yang sangat melatih kekuatan fisik dan kelenturan tubuh.
"Ini sudah pasti lebih baik ketimbang hanya rebahan sambil memegang gadget,” lontarnya, lalu tertawa.
Kegiatan sederhana ini menjadi bukti nyata bahwa warisan budaya mampu menjadi solusi kreatif untuk menghadapi tantangan modern. Untuk menghadapi masa depan, kita memang harus menilik masa lalu, bukan?(Imam Khanafi/E03)