Inibaru.id – Pernah terpikir nggak kalau pada abad 1800-an, di Nusantara sudah ada orang yang berprofesi sebagai fotografer? Hal ini ternyata beneran ada, lo. Dia adalah Kassian Cephas yang berprofesi sebagai fotografer saat Sri Sultan Hamengku Buwana VI memerintah Yogyakarta pada 1855 sampai 1877.
Nama asli laki-laki kelahiran 15 januari 1845 ini sebenarnya hanyalah Kassian. Tapi, saat muda, dia belajar di bawah bimbingan seorang misionaris Protestan bernama Christina Petronella Philips-Steven di Bagelen, Purworejo. Saat usianya 15 tahun, dia dibaptis dan kemudian memakai nama Cephas.
Nggak lama kemudian, dia pulang ke Yogyakarta dan magang di bawah pengawasan Simon Willem Camerik, seorang anggota Schutterij, pasukan yang sebenarnya dibentuk Belanda untuk mengawasi gerak-gerik sultan dan anggota Kesultanan Yogyakarta. Tapi, karena memiliki kemampuan fotografi, Camerik justru dipercaya menjadi fotografer keraton.
Tatkala membimbing Kassian, Camerik menyadari anak didiknya punya bakat besar di dunia fotografi. Bakat ini juga diakui oleh Sri Sultan Hamengku Buwana VI. Ditambah dengan kemampuannya dalam melukis, pada 1871, Kassian pun secara resmi menjadi pelukis dan fotografer keraton sekaligus mendapatkan status abdi dalem.
Menariknya, meski berstatus abdi dalem, Kassian diperbolehkan mendirikan studio fotonya sendiri. Dia membukanya di lantai dua sebuah bangunan yang ada di Lodji Ketjil Wetan. Kini, lokasinya ada di Jalan Mayor Suryotomo.
Tapi, karena profesi utamanya adalah fotografer resmi keraton, pekerjaan utamanya tentu saja adalah membuat potret sultan dan keluarga kerajaan. Dia juga diminta untuk mengabadikan upacara atau acara-acara tradisi keraton.
Selain itu, aktivitas masyarakat setempat dan berbagai lokasi di sekitar Yogyakarta juga dia abadikan. Berkat foto-fotonya yang masih tersimpan rapi hingga sekarang, kita bisa mengetahui seperti apa kondisi Jalan Malioboro, Benteng Vredeburg, Taman Sari dan lokasi-lokasi ikonik lain di Yogyakarta pada zaman dahulu.
Foto-fotonya yang menarik membuatnya cepat populer di kalangan masyarakat umum dan orang Eropa di Nusantara kala itu. Permintaan memotret untuk keperluan pembuatan buku, penelitian, atau bahkan studi meningkat tajam. Kompas, (17/2/2023) bahkan menulis Kassian pernah mendapatkan bayaran 3.000 Gulden untuk mengambil 300 foto dari Candi Borobudur. Apa yang dia dapat saat itu memang cukup mahal karena profesi fotografer masih cukup langka. Asal kamu tahu saja, per cetakan foto kala itu bisa dihargai dengan emas 100 gram, lo.
Kassian juga pernah memotret satu per satu dari seluruh relief panel Ramayana yang ada di Candi Prambanan. Hasil foto ini dianggap sangat berharga karena bisa dipelajari oleh para sejarawan.
Karena dianggap mampu melestarikan budaya Jawa lewat foto-fotonya, Kassian sampai mendapatkan medali emas Ordo van Oranje-Nassau dari Ratu Belanda Wilhelmina pada 1901. Empat tahun kemudian, Kassian pensiun dari dunia fotografi yang membuatnya melegenda.
Pada 16 November 1912, Kassian Cephas tutup usia. Tapi, foto-foto yang dia ambil lebih dari seabad silam masih banyak yang bisa kita lihat hingga sekarang. Namanya pun melegenda menjadi fotografer lokal pertama di Nusantara. (Arie Widodo/E10)