Inibaru.id - Saya tahu orang ini dari foto-fotonya di Instagram. Lim Winasdy namanya. Dia memang terkenal sebagai ‘suhu’ foto street atau jalanan dari Kota Semarang. Dalam suatu kesempatan yakni ketika acara Pameran Hunting Pasar Semarang saya bertemu langsung dengan Lim.
Dalam acara ini Lim Winasdy menerangkan banyak hal tentang street photography. Menurut Lim, alasan dia menyukai street photografy ini karena tipikal genrenya nggak punya patron kaku.
“Foto ini bebas. Nggak kayak misalnya foto model begitu. Segalanya serba spontan,” ujarnya pada Minggu (21/3/2021).
Kemudian untuk apa yang ditonjolkan, Lim menyerahkan ke setiap fotografer. Masing-masing, menurutnya, punya selera.
Di masa kiwari ini, tentu saja street photography bukanlah hal asing. Foto-foto street sering banget bertebaran di internet terutama dalam kanal media sosial penampil foto-foto yaitu Instagram.
Street photography kali pertama muncul di 1890-1920 di Eropa oleh Eugene Atget. Sementara di Indonesia baru muncul sekitar 1990-an sampai 2000-an menyusul hadirnya kamera-kamera digital.
Pemilihan Lensa Street Photography
Saya sendiri termasuk seseorang yang menyukai street photography. Namun belakangan saya agak bingung dengan lensa yang saya gunakan. Pasalnya memotret di jalanan nggak gampang. Objek yang diburu nggak semua bisa dipesan atau dikompromikan terlebih dahulu. Harus mengandalkan insting untuk menangkap momen dengan timing tepat.
Nah, dalam hal ini, kegunaan lensa begitu mendukung. Biasanya saya memakai lensa-lensa jenis zoom. Namun ternyata Lim Winasdy punya pandangan lain.
“Kalau saya lebih baik pakai lensa fix,” kata Lim yang juga sudah menjadi juri di ajang perlombaan fotografi bergengsi di Indonesia yakni Salon Foto.
Menurut Lim, dengan memakai lensa fix bidang foto kita sudah ditentukan. Untuk kualitas, tentu saja lensa fix jauh lebih bagus dari lensa zoom. Meskipun seiring zaman modern, banyak juga lensa zoom yang kemampuannya setara fix.
Selain itu Lim, menambahkan jika pakai lensa fix, dia dipaksa untuk berpikir. Jadi saat memotret kita nggak hanya sekadar mengabadikan momen, tapi juga belajar dan mengasah insting.
Sebelum menggunakan fix sebetulnya Lim juga menggunakan lensa zoom. Namun lambat laun dia lebih nyaman memakai fix.
“Idelanya pakai lensa fix yang 35mm,” sambungnya.
Nggak Perlu Banyak Editing
Setelah penentuan lensa beres, masih ada yang mengganjal bagi saya seputar genre street photography. Kebanyakan, foto-foto jalanan itu unik, mulai dari komposisi dan ketepatan momen. Nah, apakah editing juga begitu urgent ya di fotografi jalanan ini?
Kalau kata Lim Winasdy, sebisa mungkin street photography itu natural. Nggak perlu terlalu banyak editing. Bahkan saat menjadi juri di Salon Foto Indonesia, Lim selalu memberi batasan kepada peserta mengenai hal ini.
“Ya maksimal mengatur gelap-terang atau saturasi warna. Kalau sampai menghilangkan atau menambah objek itu ya nggak boleh,” tuturnya.
Lim menyarankan jika memotret sebaiknya buatlah foto yang sudah jadi. Jangan berpikir untuk mengedit. Perkara mengedit foto itu bagian terakhir, kalau fotonya bagus, editingnya juga nggak sulit.
“Motret itu kayak masak. Semua bumbunya harus sudah pas, jadi sewaktu matang sudah enak,” ucap Lim.
Potensi Komersial
Saya penasaran juga, di genre foto yang lain banyak yang punya potensi komersial, entah itu model, landskap atau bahkan foto produk. Lalu bagaimana dengan fotografi jalanan yang nggak punya unsur apapun dan hanya lebih menonjolkan seni fotografi?
Menurut Lim, potensi komersial dalam street photography sebetulnya ada. Hanya nggak sebesar seperti genre yang lain. Sebab ya itu tadi, fotografi jalanan lebih digunakan untuk mengeksplor kemampuan seni fotografi ketimbang mencari uang.
“Sementara street (photography) yang komersial itu ya sesuai permintaan,” lanjut Lim.
Maksudnya, kamu bisa memperoleh penghasilan jika ada pesanan tertentu. Di luar itu cukup sulit. Jenis fotonya pun nggak banyak, mungkin hanya berupa elemen atau benda-benda mati seperti gembok atau bentuk bangunan.
Kalau jenis foto elemen-elemen dan benda seperti itu bisa dijual di laman-laman pembeli foto seperti misalnya "Shutterstock". Kalau sudah ada unsur manusianya, masuknya ke foto editorial dan harus dibubuhi narasi penjelasan singkat.
Hem, jadi seperti itu ya street photography. Sekarang saya sudah lebih paham. Kalau kamu gimana, Millens, apakah suka juga dengan genre foto ini? (Audrian F/E05)