Inibaru.id – Pagi yang cerah di Desa Papringan, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, selalu diawali dengan asap yang mengepul dari rumah-rumah pembakaran genting milik warga. Aromanya khas, seperti petrikor yang menguar sehabis hujan, tapi lebih kering dan menusuk hidung.
Untuk yang belum tahu, Papringan adalah salah satu desa penghasil genting tanah liat yang cukup besar di Kudus. Di tengah kemunculan atap modern yang dalam beberapa hal lebih praktis dan murah, para pengrajin di desa ini bertahan dengan memproduksi genting yang konon merupakan warisan turun-temurun.
Pada musim kemarau atau saat cuaca cerah, aktivitas pembuatan genting biasanya lebih meriah. Para pekerjanya nggak hanya didominasi lelaki, tapi juga para perempuan; meski kebanyakan sudah berusia paruh baya. Kentara sekali mereka menjalani profesi tersebut dengan penuh kebanggaan.
Mukhid, pengrajin genting asal Dukuh Papringan Dondong, Desa Papringan mengatakan, membuat genting adalah keterampilan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Inilah yang membuat lelaki 46 tahun itu bertahan, karena profesi tersebut bukan cuma sarana untuk bertahan hidup, tapi juga bagian dari identitas.
Mempertahankan Kualitas
Ditemui Inibaru.id di tempat kerjanya beberapa waktu lalu, Mukhid mengatakan, pengrajin genting di desanya sejauh ini bisa bertahan karena memilih mempertahankan kualitas. Kualitas genting ditentukan dari bahan utamanya, yakni tanah liat.
"Sayangnya, bahan itu nggak bisa kami dapatkan di sini, jadi harus mendatangkan dari luar desa," terangnya sembari tangannya tetap sibuk bekerja. "Kami datangkan dalam jumlah besar, bisa sekaligus empat sampai tujuh dump truck."
Setelah tiba, dia melanjutkan, tanah liat disiram air biar lunak, lalu dimasukkan ke dalam mesin molen untuk digiling menjadi adonan halus siap cetak. Setelah itu, adonan dicetak menggunakan alat pres sederhana yang pengoperasiannya masih memakai tenaga manusia.
"Mesin pres mencetak adonan menjadi genting setengah jadi; tapi kami masih mengandalkan tenaga manusia, jadi butuh keterampilan dan ketelitian biar hasilnya bagus," paparnya.
Detail dan Butuh Kesabaran
Dalam sekali proses, Mukhid bisa mencetak sekitar 15 ribu genting, yang kemudian diangin-anginkan dulu di tempat teduh alih-alih langsung dijemur di bawah terik matahari. Menurut dia, proses ini wajib dilakukan untuk mencegah keretakan lantaran genting kehilangan kelembapan terlalu cepat.
"Setelah itu tahap 'ngerik' atau mengikis sisa-sisa cetakan untuk memastikan permukaan genting benar-benar mulus. Proses ini harus detail dan membutuhkan kesabaran," ujarnya.
Jika proses pengerikan selesai, barulah genting dijemur hingga kering menggunakan bantuan terik matahari. Pada musim kemarau, proses pengeringan biasanya memakan waktu sehari saja. Namun, pada musim penghujan, tahap ini perlu 3-4 kali jemur.
"Tahap terakhir barulah pembakaran, yang dilakukan di tungku tradisional yang disebut gobog. Satu kali proses pembakaran membutuhkan satu truk kayu bakar untuk memastikan suhu tetap tinggi dan merata selama sehari semalam," jelasnya.
Autentik dengan Cara Konvensional
Di tengah sengitnya persaingan produk-produk atap rumah yang menawarkan berbagai keunggulan dan kemutakhiran teknologi dalam proses pembuatannya, genting buatan Mukhid yang dilabeli "Langgeng Jaya" tetap eksis dengan cara pembuatan konvensional. Namun, justru karena inilah ia menjadi autentik.
Mukhid mengklaim, genting bikinannya nggak akan retak dalam waktu yang sangat lama, kokoh, rapi, dan terlihat molek saat dipasang karena memiliki warna yang khas. Menurutnya, hal tersebut nggak lepas dari cara penanganan yang baik saat proses pembakaran.
"Suhu tinggi yang konsisten dan merata selama semalaman menjadi kunci untuk menghasilkan genting yang kuat, tahan lama, dan memiliki warna yang khas," simpulnya sembari menunjukkan produk genting bikinannya yang sudah siap jual. "Pengrajin di Papringan terbiasa menggunakan cara ini."
Oya, genting-genting di Desa Papringan dipasarkan ke berbagai daerah dengan harga Rp1.200 per biji. Nggak hanya untuk memenuhi market lokal, buah karya autentik dari desa ini juga dipasarkan ke luar kota, lo! Keren, kan? (Imam Khanafi/E03)