Inibaru.id – Menjelang Imlek, banyak perayaan yang digelar masyarakat “keturunan” Tionghoa. Lampion, kembang api, petasan, pernak-pernik merah dan emas, serta nggak lupa bazar kuliner khas Imlek biasa digelar di mana-mana. Salah satu yang nggak pernah ketinggalan dalam perayaan yang biasa disebut Sinchia itu adalah pelbagai kesenian, di antaranya pertunjukan wayang potehi. Ada yang tahu wayang yang satu ini?
Yap, potehi! Pamornya mungkin kalah dengan wayang golek atau kulit yang dianggap lebih "lokal" dan identik dengan budaya Jawa dan Sunda. Namun, siapa menyangka wayang yang "diimpor" dari Tiongkok ini nyatanya sudah ada dan dipertunjukkan di di Indonesia sejak abad ke-16?
Istilah potehi berasal dari bahasa Mandarin, yakni pou, te, dan hi. "Pou" berarti kain, "te" bermakna kantong, sedangkan "hi" yaitu boneka. Nah, wayang potehi kurang lebih berarti boneka dari kain yang berbentuk kantong. Karena alasan ini pulalah sebagian masyarakat juga menyebutnya wayang kantong.
Baca juga:
Wayang Potehi Dulu dan Kini
Akulturasi Fesyen Tionghoa-Indonesia dalam Kebaya dan Batik
Wayang potehi kali pertama dibawa ke Indonesia oleh pedagang dari negeri Tiongkok. Namun, kesenian kuno berusia sekitar 3.000 tahun itu konon justru dipopulerkan sejumlah terdakwa hukuman mati pada masa penjajahan Jepang di negeri ini. Hal itu seperti diungkapkan Herdian Chandra Irawan (48), pegiat wayang potehi Tek Gie Hien Semarang.
“Dulu, waktu penjajahan Jepang, ada lima pesakitan yang dihukum mati. Sambil menunggu waktu eksekusi, mereka menghibur diri dengan memainkan wayang potehi ini,” kata Herdian.
Sejak saat itu wayang potehi mulai tersebar ke seluruh Indonesia. Namun, kesenian asal Tiongkok bagian selatan sempat mendapat tindakan represif pada era Orde Baru. Nggak cuma potehi, segala kesenian, tradisi, dan budaya khas Tiongkok lainnya kala itu juga dilarang. Para seniman potehi pun nggak nggak bisa tampil secara terang-terangan.
Namun, situasi itu berubah setelah Soeharto lengser dan masuk Era Reformasi. Presiden terpilih berikutnya, yakni Abdurrahman Wahid, yang lebih terbuka terhadap budaya Tionghoa, membuat para seniman potehi bisa kembali bernapas lega. Mereka bebas manggung di mana saja, terlebih setelah Imlek resmi dijadikan sebagai hari libur dan dirayakan secara nasional pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Kisah Legenda
Sesuai dengan akar budaya yang melatarinya, cerita wayang potehi pun nggak jauh-pun dari legenda-legenda yang ada di negeri Tirai Bambu. Cerita yang sering dipertunjukkan di antaranya Sie Djin Kwie, Sun Go Kong, Poei Sie Giok, dan Pertahanan Perang Jenderal Yang.
Cerita-cerita itu biasanya dituturkan menggunakan bahasa Hokkian, kendati saat ini sudah banyak yang menggunakan bahasa Indonesia. Durasi ceritanya pun beragam. Ada yang habis diceritakan empat jam, tapi ada pula yang membutuhkan waktu dua bulan. Wah!
Herdian mengungkapkan, salah satu kisah paling panjang dalam wayang potehi adalah lakon Sie Djin Kwie. Untuk menyelesaikan kisah legendaris tentang jenderal Tiongkok paling terkenal pada awal masa Dinasti Tang itu, ungkapnya, dibutuhkan waktu seenggaknya dua bulan.
Baca juga:
Lasem, Kota Pusaka yang Lambangkan Persatuan
Menyambut Imlek, Puluhan Siswa PAUD Kucica Belajar Bikin Bakpao
“Cerita Sie Djin Kwie memang panjang banget, bisa sampai dua bulan. Semasa hidup, papa senang mendalang dengan cerita itu,” terang anak dari mendiang dalang potehi legendaris Semarang, Thio Tiong Gie, tersebut.
Hm, menarik nih! Ini sudah jadi kesenian kita juga lo, Millens! Yeah, nggak jauh berbeda dengan wayang kulit dan golek yang sudah lebih dulu kita kenal dan banyak dipakai dalam perhelatan tradisional di Indonesia, mungkin kamu juga harus mulai memikirkan, wayang potehi semestinya juga bisa dipentaskan sejajar dengan wayang kulit atau golek. Sepakat, Millens? (IF/GIL)