Inibaru.id - Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia ke titik di mana menghidupkan kembali spesies hewan yang telah punah bukan lagi hal yang mustahil. Lewat teknologi rekayasa genetika seperti CRISPR, ilmuwan kini mampu menyusun ulang DNA dari fosil ribuan tahun lalu, kemudian “menghidupkannya” lewat sel inang spesies modern. Contohnya adalah kelahiran anak dire wolf hasil rekayasa genetika yang baru-baru ini mengejutkan dunia.
Namun di balik kekaguman terhadap terobosan ini, muncul pertanyaan penting: apakah upaya menghidupkan kembali hewan punah benar-benar etis?
Antara Harapan Ilmiah dan Realitas Ekologis
Dari sisi ilmiah, proyek seperti ini menawarkan banyak potensi. Dia bisa membantu memperbaiki ekosistem yang rusak akibat kepunahan, memperluas pemahaman kita tentang evolusi, hingga menjadi alat konservasi masa depan. Tapi realitasnya nggak sesederhana itu.
Hewan yang hidup kembali lewat teknologi ini bukan salinan persis dari nenek moyangnya. Yap, mereka adalah hasil hibrida yang belum tentu memiliki peran ekologi yang sama.
Mereka dilahirkan di dunia yang sudah sangat berbeda dari habitat asalnya. Akankah mereka mampu bertahan? Apakah keberadaan mereka justru mengganggu keseimbangan yang sudah ada?
Pertanyaan Moral: Apakah Kita Berhak?

Aspek etika paling mendalam menyentuh pada hakikat kehidupan itu sendiri. Apakah manusia berhak “memanggil kembali” makhluk yang telah punah, hanya karena kita bisa? Apakah makhluk hidup hasil rekayasa ini memiliki hak yang sama dengan hewan lainnya? Dan jika mereka menderita akibat kelainan genetik atau ketidakmampuan beradaptasi, siapa yang bertanggung jawab?
Selain itu, sumber daya yang digunakan untuk proyek ambisius ini sering kali sangat besar. Sebagian ahli berpendapat, akan lebih masuk akal secara moral untuk mengalokasikan dana dan tenaga ke program konservasi spesies yang kini terancam punah, daripada berusaha menghidupkan kembali yang sudah tiada.
Perkembangan bioteknologi yang pesat menuntut kerangka etika baru yang mampu mengikuti laju inovasi. Nggak cukup hanya bertanya “apakah ini mungkin dilakukan?” tetapi juga “apakah ini seharusnya dilakukan?” Keterlibatan lintas disiplin dari ilmuwan, bioetikus, hingga masyarakat luas diperlukan untuk merumuskan arah yang tepat.
Karena pada akhirnya, teknologi hanyalah alat. Bagaimana kita menggunakannya akan menentukan apakah ia menjadi berkah atau justru ancaman bagi kehidupan di Bumi. Bagaimana menurutmu, Millens? (Siti Zumrokhatun/E05)