Inibaru.id – Nama Franz Wilhelm Junghuhn pasti nggak asing buat orang Indonesia. Maklum, di buku-buku pelajaran pada masa sekolah, khususnya pelajaran Geografi, namanya pasti ada. Sebab, hasil penelitiannya selama mengelilingi Nusantara banyak dikutip dalam buku-buku tersebut.
Selama 54 tahun usianya, 13 tahun di antaranya dia habiskan di Nusantara. Junghuhn bahkan menutup usianya pada 24 April 1864 di sebuah desa yang ada di Lembang, Jawa Barat. Sejumlah pihak yang selalu bersamanya hingga akhir hayat mengungkap betapa cintanya Junghuhn kepada alam Nusantara.
Laki-laki berkewarganegaraan Belanda kelahiran 26 Oktober 1809 di Mansfeld, Jerman ini mengalami masa muda yang sangat buruk. Selain depresi dan sempat mencoba bunuh diri, dia sempat berkelahi dengan orang sampai tanpa sengaja membuatnya meninggal. Saat akan dipenjara 10 tahun akibat tindakannya ini, dia berpura-pura gila dan akhirnya dibebaskan pada 1933.
Kehidupannya berubah saat bertemu botanis Christiaan Hendrik Persoon. Berkat rekomendasinya, dia dikirim ke Hindia Belanda sebagai seorang dokter dan tiba di Batavia pada 1835.
Bukan di kota besar dia kemudian menemukan jalan hidupnya, melainkan di Bumi Priangan. Pada 1844, tatkala melakukan perjalanan dari Bogor menuju Cianjur, Junghuhn langsung terkesima dengan alam Nusantara yang masih asri. Sejak saat itu, dia memutuskan untuk menulis secara rinci sekaligus menggambar bentang alam yang dia lihat selama melakukan perjalanan di Jawa dan Sumatra.
Pada buku berjudul Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw, Vol.1 yang diterbitkan pada 1853, diketahui bahwa Junghuhn sudah menjelajahi seantero Jawa. Dia mendata 559 kabupaten serta tanah partikelir di Pulau Jawa. Dia juga membagi Jawa menjadi tiga bagian yaitu timur, tengah, dan barat. Detail informasi yang dia kumpulkan sangatlah luar biasa.
Dia melakukan perjalanan itu dengan kereta kuda dan kereta api. Junghuhn juga mendaki sejumlah gunung seperti Galunggung dan Wayang. Nggak hanya topografi alam yang dia tulis atau gambarkan dalam catatan perjalanannya, budaya dan tradisi setempat juga dia tulis sehingga membuat catatannya seperti sebuah ensiklopedia lengkap yang sangat berharga.
“Ketika matahari terbit di timur, membuat puncak gunung yang megah disinari cahaya emas dan keunguan. Itu adalah pemandangan yang saya kagumi. Semangat saya langsung bergelora untuk menyambut hari itu,” tulisnya di salah satu bukunya.
Sempat pulang ke Belanda karena masalah kesehatan, kekagumannya akan alam Nusantara membuatnya memilih untuk kembali dan tinggal di desa yang masih terpencil, tepatnya di Jayagiri, Lembang, sejak 15 Juli 1857. Di desa dengan ketingguan 1.300 meter di atas permukaan laut itu, dia menemukan ketenangan hidup hingga tutup usia setelah berjuang melawan kanker hati.
Menurut rekannya sesama botanis Rob Nieuwenhuys dan Fritz Jacquet, sebelum meninggal, Junghuhn meminta dokter membuka lebar-lebar jendela agar dia bisa melihat gunung-gunung dan bentang alam Indonesia yang sangat dia cintai sebelum menutup mata.
“Dia ingin melihat pemandangan rimba yang dia cintai. Dia ingin menghirup udara gunung yang murni. Lalu kemudian gerimis turun, Junghuhn menutup matanya dengan tenteram.”
Menarik banget ya kisah kehidupan Junghuhn. Banyak pelajaran hidupnya yang menginspirasi kita sebagai anak muda Indonesia. (Arie Widodo/E10)