Inibaru – Setiap daerah tentu saja memiliki seni dan budaya masing-masing, salah satunya dalam hal seni musik. Terkenal dengan identitas bahasa ngapak, untuk kesenian musik, calung banyumasan menjadi ikonnya.
Buat kamu yang belum tahu calung banyumasan, perangkat musik ini memiliki kesamaan dengan perangkat gamelan jawa. Karena itu, calung banyumasan sering juga dinamai gamelan calung.
Seperti halnya gamelan jawa, dalam calung banyumasan juga terdapat gambang, barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong bumbung, dan kendang. Lalu apa bedanya?
Meski sekilas mirip gamelan jawa, bedanya gamelan versi calung ini terbuat dari bilah-bilah bambu yang disayat-sayat sedemikian rupa sampai melengkung hingga menghasilkan bunyi yang mirip suara gamelan sungguhan.
Mengutip tabloidpamor.com (24/3/2014), calung yang sangat populer pada 1970-an dijadikan sebagai alat musik dalam seni pertunjukan seperti lengger (seni tari) dan ebeg (kuda lumping khas Banyumas). Biasanya untuk lengger, calung ini dipentaskan pada acara hajat pernikahan, khitanan, tindik, dan keperluan ritual lainnya seperti syukuran (nazar), sedekah bumi, dan sedekah laut. Meski demikian, dalam penyajiannya calung juga dapat berdiri sendiri layaknya klenengan dalam gamelan jawa.
Oya, calung banyumasan ini sebenarnya hanya berlaras slendro dengan nada-nada 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6 (nem). Tapi seiring perkembangannya mulai muncul variasi dari masyarakat maupun senimannya dan mengubah dengan laras pelog.
Baca juga:
Sebuah Perang Kegembiraan dan Simbol Toleransi
Tanam Tembakau Petani Itu Diawali dengan Ritual Among Tebal
Nggak hanya itu saja, pergeseran juga terjadi dalam bentuk penyajiannya. Sekitar 1997, masyarakat mulai lebih menyukai pertunjukan lengger dengan tambahan alat-alat musik modern seperti misalnya calung dengan kolaborasi organ. Jadi kamu nggak perlu heran, kalau sekarang calung Banyumasan nggak hanya mengiringi gending-gending banyumasan tetapi dapat juga sebagai pengiring lagu-lagu modern seperti dangdut, pop, dan lain-lain.
Eh, tapi kamu tahu nggak sih, dalam proses pembuatan calung, bambu yang dipilih nggak boleh sembarangan. Selain itu juga membutuhkan waktu yang lumayan lama. Bayangkan saja, mulai dari proses penebangan bambu hingga bisa dipakai untuk membuat calung bisa memakan waktu seenggak-enggaknya enam sampai delapan bulan. Wih, lama sekali, bukan?
Untuk jenis bambu yang digunakan untuk membuat calung pada awalnya sebenarnya adalah jenis bambu tutul. Namun dalam perkembangannya para pembuat calung lebih memilih bambu wulung (hitam). Akhirnya, semakin lama calung berbahan bambu tutul menghilang.
Nah, supaya menghasilkan bunyi sempurna, bambu yang dipilih harus berkualitas bagus. Bambunya harus benar-benar tua dan siap tebang, serta bersih atau bebas dari hama penyakit. Supaya bisa menghasilkan kualitas suara yang bagus, bambu yang dipergunakan juga harus benar-benar kering. Tapi bukan kering karena dijemur melainkan kering hanya diangin-anginkan saja.
Ketika sudah ditebang, batang bambunya harus dibiarkan dulu sampai kering dan rontok daun-daunnya. Sesudahnya dibersihkan ranting dan ruasnya dan dipotong-potong sesuai kebutuhan. Setelah itu diangin-anginkan lagi di atas para-para sampai benar-benar kering dan siap untuk dibuat calung banyumasan. Biasanya proses dari menebang, pengeringan hingga bisa dipakai membuat calung ini membutuhkan waktu enam hingga delapan bulan. Wah, lama sekali ya prosesnya.
Baca juga:
Jangan Masuk ke Wilayah Baduy Dalam selama Kawalu!
Wayang Sasak dan Kisah Penyebaran Islam di Lombok
Sedangkan untuk nama, kata “calung” berasal dari ungkapan “diprocol nganti melung”. Kata “diprocol” ini bisa dilihat dari bentuk calung yang berupa sayatan melengkung pada bilah bambu, sementara kata “melung” yaitu bunyi. Jadi “diprocol nganti melung” itu “menyayat batang bambu sampai menghasilkan suara yang sempurna”.
Hmm, meski calung merupakan perangkat yang sederhana, namun mampu menghasilkan aransemen musikal yang lengkap. Nggak kalah keren dengan alat musik modern bukan? (ALE/SA)