Inibaru.id – Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 resmi memecah Kerajaan Mataram menjadi dua, yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kondisi ini masih bertahan hingga sekarang, meski secara pemerintahan keduanya masuk dalam wilayah Indonesia.
Berdasarkan perjanjian itu, Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta, yang dirajai Sunan Pakubuwana III. Sementara, Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta; pemimpinnya adalah Sultan Hamengkubuwana I.
Kendati sudah dibagi, kejelasan terkait batas kedua wilayah tersebut belum dibuat. Selain pergolakan Mataram yang masih berlanjut, Perang Jawa juga berlangsung berlarut-larut. Pembagian wilayah baru terwujud para 27 September 1830, dua bulan pasca-Perang Jawa berakhir.
Kala itu, VOC meminta kedua belah pihak menandatangani Perjanjian Klaten yang menyebutkan bahwa daerah Pajang dan Sukowati masuk dalam wilayah Kasunanan. Sementara, Mataram dan Gunungkidul masuk dalam wilayah Yogyakarta.
Dua Tugu Tapal Batas
Untuk memudahkan, batas wilayah kesunanan dengan kesultanan pada Perjanjian Klaten itu diberi tugu tapal batas. Tapal batas ini didirikan di lereng pegunungan antara Klaten dengan Gunungkidul.
“Garis batas antara daerah Pajang dan Gunungkidul adalah lereng pegunungan selatan di sisi utara,” tulis LG Jabbar dari Universitas Negeri Yogyakarta di dalam skripsi terbitan 2016 berjudul Perjanjian Klaten 1830: Dampaknya pada Kasultanan Yogyakarta.
Bentuk tugu pembatas ini menyerupai gapura yang dibangun pada bahu jalan. Satu di kanan, satu di kiri. Hingga kini, tapal batas berupa sepasang tugu ini masih eksis, lo. Meski sudah berusia hampir dua abad, kedua tapal batas masih tampak kokoh berdiri.
Kamu bisa melihatnya di ujung utara Kelurahan Sambirejo, Kapanewon (Kecamatan) Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Burikan, Kecamatan Cawas, Klaten, Jawa Tengah.
Kondisi yang Berbeda
Meski tugu-tugu pembatas itu memiliki bentuk yang sama, kalau diperhatikan secara saksama, kondisi bangunan penanda keduanya jauh berbeda. Salah satu tapal pembatas terlihat lebih terawat dari satunya. Kenapa demikian?
Sebagai informasi, tugu yang terlihat baik dibangun oleh Kesultanan Yogyakarta pada 29 Djoemadiawal 1867; bewarna putih-hitam berhiaskan lambang kerajaan. Sementara, tugu satunya, yang berwarna putih biru, tampak rusak dengan lambang Kesunanan Surakarta yang memudar, dibangun pada 22 Redjeb 1867.
Kepala Desa Burikan Surata mengakui, tugu yang di wilayah Yogyakarta lebih terawat, sedangkan tugu di desanya, yang masuk wilayah Surakarta, terlihat memprihatinkan. Dia sejatinya pengin memperbaiki tugu itu, tapi diurungkan karena tapal batas tersebut adalah bangunan cagar budaya.
"Bangunan itu nggak bisa sembarangan diubah-ubah karena masuk cagar budaya," ungkap Surata pada Mei 2022 lalu.
Bangunan Cagar Budaya
Berdasarkan aturan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DI Yogyakarta yang ditetapkan melalui SK Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 185/KEP/2011, tertulis bahwa Tugu Tapal Batas masuk dalam bangunan cagar budaya dan harus dirawat.
Keberadaan aturan yang diterbitkan Gubernur DIY tersebut menyulitkan Surata untuk membenahi bangunan tugu pada sisi wilayah Surakarta yang temboknya mulai ditumbuhi lumut dan lambang kesunanannya mulai berkarat itu.
“Kami sebenarnya ingin membuat gapura itu lebih cantik dan tidak kumuh cat-catnya. Alasannya, ya kami sebatas prihatin,” pungkasnya.
Wah, sayang sekali kalau tugu tapal batas antara Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta ini rusak ya, Millens. Semoga pihak terkait memperhatikan betul kondisi ini, deh! (Sol,Tir/IB09/E03)