Inibaru.id – Setyo Nugroho, teman kuliah saya tiba-tiba mengajak ketemuan di Semarang, kota tempat kami mengenyam pendidikan bersama belasan tahun lalu. Dia yang sedang melintas di Kota Lunpia dalam perjalanan dari kampung halaman menuju Jakarta, tempatnya bekerja saat ini, mengaku pengin singgah sejenak untuk bernostalgia sekaligus berwisata kuliner.
Namun, karena baru tiba di Kota Semarang sekitar pukul 22.30 WIB, kami pun kebingungan mencari tempat bertemu. Pilihan untuk berwisata kuliner malam juga cukup terbatas.
Kami kemudian teringat pada lapak soto di Jalan Gajahmada yang acap menjadi rujukan untuk mengisi perut di sekitar pusat kota selewat jam malam. Namanya adalah Soto Yesus.
Tentu saja nama unik itu hanyalah julukan. Nama sebetulnya adalah Soto Pak Min. Warung kaki lima yang sudah eksis sejak 1999 ini berlokasi persis di seberang Hotel Gumaya, tepat di depan Gereja GBI Gajahmada.
Ihwal Mula Nama 'Soto Yesus'
Nah, karena berlokasi persis di depan gereja, warga setempat kemudian memutuskan untuk menyebutnya sebagai Soto Yesus, alih-alih nama warung aslinya, Millens.
Persis di seberangnya, terdapat sebuah kafe yang juga selalu dijejali anak muda sepanjang malam. Namun, hal ini nggak bikin Soto Pak Min yang hanya berjualan dengan gerobak dan tempat duduk lesehan di atas tikar yang digelar di trotoar pinggir jalan itu jadi sepi. Semakin larut, lapak yang buka mulai pukul 23.00 WIB justru kian ramai.

“Dulu pas kuliah sering makan di sini pas lagi gabut nyari tempat nongkrong dengan teman kos. Kebetulan sampai Semarang tengah malam, akhirnya bisa mencobanya lagi. Suasana street food-nya sangat terasa dan semakin malam semakin menyenangkan,” ungkap Setyo tentang tempat makan tersebut usai memarkir mobilnya nggak jauh dari gerobak soto, Senin (7/4/2025).
Nggak pengin kehabisan tempat duduk lesehan karena semakin banyak orang yang datang, saya dan Setyo pun langsung memesan soto yang harga per porsinya Rp10 ribuan tersebut.
Sebagai pelengkap, kami menjumput beberapa satai usus, kulit, dan telur puyuh, serta tempe goreng kering yang merupakan kondimen lazim pada soto semarang, dalam piring tersendiri.
Untuk minumnya, Soto Pak Min menyediakan es jeruk dan teh, serta air mineral. Kamu yang nggak suka minuman dingin pada malam hari juga bisa memesan teh atau jeruk hangat.
Suasana yang Ngangeni
Oya, selepas memesan, kami langsung membayar. Untuk sebuah destinasi kuliner di pusat kota, harga yang ditawarkan Soto Yesus terbilang masuk akal. Seporsi soto lengkap dengan kondimen lain dan minuman yang saya pesan dibanderol kurang dari Rp25 ribu. Pun demikian dengan Setyo.
Sembari menenteng minuman dan piring berisi lauk, kami pun duduk di trotoar dan mengobrol tentang banyak hal.
“Untuk soto sebenarnya nggak istimewa banget, sama dengan soto legend pada umumnya yang enak. Lauknya juga. Justrj suasananya yang bikin kangen. Apalagi semakin malam semakin ramai. Enak buat ngobrol, asal nggak hujan saja,” seloroh Setyo.
Sekitar 40 menit kami bercengkerama, cukup banyak yang kami obrolkan, mulai dari mengenang masa-masa kuliah hingga perkembangan kota transit ini. Tidak terasa, soto dan aneka lauk yang ada di hadapan ludes kami santap.
Karena dia harus melanjutkan perjalanan ke Ibu Kota, mau nggak mau pertemuan singkat tersebut harus kami akhiri.
Meski sebentar, setidaknya pertemuan di Soto Yesus yang asyik buat nongkrong itu cukup membekas. Barangkali, di kesempatan berikutnya, kami akan kembali datang ke sana.
Selain Soto Yesus, mana lagi ya destinasi wisata kuliner di pusat kota Semarang selewat jam malam? Kamu punya rekomendasi? (Arie Widodo/E10)