Inibaru.id – Namanya kemungkinan bakal bikin siapapun penasaran: Langgar Bubrah. Bagaimana bisa sebuah tempat bersembahyang diberi nama berkonotasi negatif? Yap, kata Jawa “Bubrah” berarti “gagal, rusak, berantakan.”
Penamaan tersebut ada kaitannya dengan cerita yang beredar seturut keberadaan bangunan itu, Sobat Millens. Ini bukan hal baru. Banyak bangunan atau situs tua yang memiliki cerita, baik sejarah maupun mitos.
Langgar Bubrah berada di tengah permukiman penduduk di Dukuh Tepasan, Desa Demangan, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Lokasinya yang masih di area Menara Kudus itu gampang didatangi, tepatnya di sisi selatan Jl Sunan Kudus.
Dikutip dari blog yasiryafiat.wordpress.com, langgar ini awalnya sebuah bancikan (tempat pemujaan Hindu) yang didirikan seorang dari keluarga Kerajaan Majapahit bernama Pangeran Pantjawati. Pangeran yang tadinya Hindu, berguru ke Sunan Kudus dan memperistri Dewi Prodobinabar, yang tak lain putri sang sunan dari istri Dewi Sari atau Dewi Pecat Tondo Terung.
Zaimul Azzah, arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, yang pernah meneliti langgar tersebut menduga alasan mengapa bangunan langgar nggak selesai.
“Menurut cerita, bangunan tersebut harus dibangun dalam semalam dan tidak boleh kamanungsan (diketahui) oleh orang lain. Tapi, karena kemanungsan, tidak jadi dan dinamakan Langgar Bubrah,” ujar Zaimul seperti dikutip dari laman gangsiput.com.
Cerita soal kamanungsan ini lebih seru bila kita membaca dari Wikipedia. Dalam laman itu ditulis tentang seorang janda yang disabda menjadi patung. Konon, menurut cerita yang berkembang di masyarakat, ketika Pangeran Pantjawati sedang menyelesaikan pembangunan langgar, waktu hampir masuk subuh saat dia melihat seorang janda yang sedang menyapu. Kemudian dia mendekati si janda dan menyabda-nya jadi patung.
Benarkah? Mirip dengan kisah Candi Prambanan ya, Millens?
Meskipun benar ada patung sangat kecil terpahat di dalam batu besar di sekitar Langgar Bubrah, kamu boleh menganggapnya sebagai othak-athik gathuk khas orang Jawa. Pada akhirnya, cerita yang ada akan memperkaya nilai suatu bangunan kuno.
Bukti Akulturasi
Yang pasti, Millens, arsitektur Langgar Bubrah memang mengindikasikan akulturasi Hindu-Islam. Bangunan berukuran panjang 6,3 m, lebar 6 m, dan tinggi 2,75 m tersusun dari batu bata itu berukiran khas Majapahit .
Menurut Zaimul, bentuk Langgar Bubrah, yang pembangunannya dilakukan pada masa transisi dari Hindu-Buddha menuju ke era Islam itu sangat terbuka terhadap akulturasi kebudayaan kedua agama tersebut.
“Apalagi, toleransi terhadap umat beragama yang dimiliki Sunan Kudus sangat besar,” tandasnya.
Tiga batu legendaris masih utuh berada di depan Langgar Bubrah. (murianews.com/Edy Sutriyono)
Perlu kamu tahu, Millens, akulturasi itu juga terlihat di mihrab dengan adanya relung di dinding sebelah luar yang dihias dengan motif tumbuh-tumbuhan. Pada dinding sebelah tenggara terdapat relief seorang lelaki yang rambutnya tertata seperti kepala Buddha dalam posisi berdiri.
Selain itu, dilansir dari laman gangsiput.com, di area Langgar Bubrah juga terdapat sebuah lumpang batu persegi panjang, dengan ukuran panjang 95 cm, lebar 45 cm, dan tinggi 35 cm. Ada batu pipisan dan lingga-yoni yang berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha.
Toleransi antarumat beragama di sekitar Langgar Bubrah berlangsung hingga kini. Mau bukti? Di depan jalan masuk ke Langgar Bubrah, sekitar 100 meter, berdiri Kelenteng Hok Ling Bio.
Oya, langgar ini sudah dijadikan Benda Cagar Budaya oleh Balai Pelestarian Pengelolan Purbakala, Jawa Tengah pada 4 September 2005 dengan SK No 988/02.SP/BP3/P.IX/2006.
Tertarik? Langsung capcus saja ke sana! (IB02/E05)