Inibaru.id – Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, tiba-tiba dipenuhi dengan ratusan warganya yang pulang dari perantauan. Mereka kembali karena pekerjaan di sektor wisata yang mereka lakukan di Bali selatan terdampak Covid-19. Meski terpuruk, mereka nggak mau hanya berpangku tangan. Kini, para warga memilih untuk bangkit untuk kembali bertani.
Desa Tembok berada sekitar 90 km dari Denpasar. Meski di musim kemarau seperti sekarang ini tanah di desa tersebut cenderung kering, warga nggak patah arang. Mereka bisa menanam berbagai macam tanaman seperti lontar, mete, dan berbagai sayuran lainnya. Sebelumnya, lahan pertanian ini sempat kosong karena ditinggal warganya merantau ke Bali Selatan.
Setidaknya, 40 persen dari sekitar 2.300 KK di desa tersebut merantau untuk bekerja di sektor wisata. Sayangnya, pandemi Covid-19 memaksa para warga ini pulang ke rumah karena menganggur.
Salah seorang perantau yang pulang kampung adalah Dewa Ketut Arta. Pria berusia 40 tahun ini sebelumnya bekerja di Kuta sejak 1999 silam. Dia pernah bekerja di restoran, spa, dan terakhir menjadi supir wisata. Dalam sebulan, penghasilannya bisa mencapai Rp 5-6 juta, belum termasuk tip. Berkat penghasilan ini, Arta bahkan bisa membangun rumah di Desa Tembok.
Bali yang biasanya didatangi enam juta turis asing serta sepuluh juta turis lokal per tahun hanya didatangi 1,1 juta turis hingga pertengahan 2020. Sektor wisata Bali yang biasanya menguntungkan pun harus merugi.
“Sekarang pendapatan nol. Untuk makan saja kurang,” ucap perantau lainnya yang pulang kampung, Nyoman Jenek Arta.
Kepala Desa Tembok, Dewa Komang Yudi Astara nggak mau melihat ratusan warganya menganggur begitu saja. Dia pun mengajak mereka untuk kembali bertani.
“Semua orang membutuhkan kebutuhan dasar. Jadi yang paling realistis adalah kembali bekerja menyediakan sumber pangan,” ucap pria 34 tahun tersebut.
Mulai April 2020, warga desa Tembok membuka lahan dengan luas sekitar 1,5 hektare. Mereka menanam tomat, terong, cabai, dan sayuran lainnya. Karena dianggap berhasil, warga pun kembali membuka lahan hingga kini total sudah ada 2,5 hektare lahan pertanian yang diurus.
Anggaran pengelolaan pertanian ini memakai Anggaran Dana Desa (ADD) dan menghabiskan Rp 100 juta. Meski nggak sedikit, Yudi menyebut hal ini lebih baik karena membuat warganya kembali aktif bekerja.
“Kita tidak bisa mengharapkan pariwisata kapan kembali. Kalau ditunggu-tunggu, harapan itu tidak pasti, lebih baik bertani saja,” ucap Jenek.
Meski pendapatannya nggak sebanyak saat berada di sektor wisata, Jenek dan rekan-rekan lainnya mengaku sudah merasa cukup. Mereka pun kembali tenang melanjutkan hidup meski dunia wisata di Bali belum pulih.
Wah, contoh yang luar biasa dari masyarakat Bali, ya Millens agar tetap bangkit di masa pandemi. (Bbc/IB09/E05)