Inibaru.id - Di tengah semangat pesta demokrasi menuju Pemilu 2024, media sosial kini menjadi panggung utama kampanye politik. Pemasangan alat peraga kampanye seperti baliho, poster, dan stiker sekarang dianggap hal biasa oleh anak muda. Para generasi muda justru lebih suka bermain di dunia maya.
Survei Inibaru.id pada 3 Oktober lalu mengungkap generasi Z yang lahir antara tahun 1995-2005 lebih suka mencari konten politik di media sosial. Mereka menikmati berita dalam bentuk artikel, audio seperti podcast atau radio, dan yang paling digemari adalah video.
Salah satu penyedia jasa konten digital asal Semarang Triawanda Tirta Aditya membenarkan hal ini. Dia mengungkapkan bahwa video pendek di medos menjadi panggung kampanye yang sangat cocok untuk anak muda, khususnya generasi Z.
"Kalau target kampanye adalah anak muda, kampanye di sosmed bakal lebih sukses daripada kampanye dengan cara konvensional seperti pemasangan baliho di jalanan," terang CEO Taggallery Agency itu saat dihubungi Inibaru.id belum lama ini.
Menurut pengamatan Tri, sapaan akrabnya, kampanye digital berbasis sosmed yang paling disukai anak muda adalah konten berupa video singkat atau short video. Alasan lain, video singkat itu lebih mudah trending.
"Video singkat dengan durasi kurang dari 1 menit itu yang mudah trending. Apalagi kalau videonya punya konten dengan value yang menarik, jadinya nggak boring," terang Tri.
"Oh iya, konten pemilu dalam bentuk video yang bagus juga yang nggak terlalu direct selling karena itu nggak bakal menarik buat anak muda. Artinya tokoh politik nggak secara langsung ngomong minta dukungan, tapi lebih menampilkan kelebihan yang dimiliki," imbuhnya.
Konten Video Lebih Asik
Salah satu contoh generasi Z yang menyukai konten pemilu dalam bentuk video adalah Shinta. Bagi perempuan 22 tahun itu video lebih menarik dan informatif.
"Aku paling suka konten video karena nggak membosankan dan tinggal nonton saja. Aku juga bisa lihat siapa orang dalam video, ekspresi mereka, dan tindakannya juga," ujar Shinta kepada Inibaru.id.
Ketimbang informasi berupa artikel atau tulisan panjang, Shinta mengakui lebih senang senang melihat konten-konten pemilu di FYP Tiktok miliknya.
"Kalau artikel kadang suka clickbait. Apalagi kebanyakan orang Indonesia suka membaca berita dari judulnya saja, tanpa membaca isinya. Kalau begini, nanti infonya malah jadi nggak valid," imbuhnya.
Sebagai generasi Z, Shinta juga suka dengan penggunaan meme dan humor dalam konten pemilu. Baginya, admin sosial media dari partai politik yang bisa bersikap santai dan berbaur dengan anak muda lebih menarik perhatian.
"Aku suka admin medsos partai politik yang asik dan bisa membaur dengan anak muda. Menurutku, partai politik nggak melulu harus kaku dan serius," ungkap Shinta.
Interaksi di Sosmed Nggak Menjamin
Nggak sependapat dengan Shinta, Arif Rahmadhi justru menilai meme atua humer dalam konten politik rentan dengan aksi black campaign. FYI, black campaign adalah taktik kampanye politik yang bertujuan untuk merusak citra atau reputasi calon atau partai politik lawan dengan menggunakan informasi yang tidak benar, menyesatkan, atau menggiring opini negatif.
"Penggunaan meme bisa memengaruhi dalam black campaign, tapi tidak begitu efektif dalam meningkatkan elektabilitas para calon pemimpin politik," ujar salah seorang mahasiswa sebuah kampus di Semarang itu.
Selain itu, laki-laki 23 tahun tersebut mengkritisi interaksi antara para pemimpin politik dan anak muda di sosial media. Meskipun banyak pemimpin politik berusaha aktif berinteraksi di media sosial untuk menarik perhatian, Arif merasa itu tidak selalu mencerminkan sikap sebenarnya.
"Interaksi di media sosial tidak bisa dijadikan patokan untuk memilih calon yang benar-benar pro anak muda. Semua calon akan terlihat baik dan pro anak muda saat mencari suara," tandasnya.
So, dalam menyambut Pemilu 2024, anak muda perlu lebih bijak dalam mengonsumsi konten politik dan jangan terbuai oleh tampilan yang menarik, ya! Semua pihak harus lebih kritis dan cerdas dalam memilih pemimpin yang benar-benar mewakili aspirasi mereka. Setuju, millens? (Rizki Arganingsih/E10)