Inibaru.id – Diamankannya satu unik truk yang mengangkut 226 ekor anjing yang nggak dilengkapi dengan dokumen resmi di Gerbang Tol Kalikangkung, Kota Semarang, pada Sabtu (6/1/2024) malam menguak fakta mengejutkan.
Ada kemungkinan anjing-anjing tersebut akan dijadikan bahan kuliner daging anjing di kawasan Solo Raya. Apalagi, kedua awak truk tersebut diketahui adalah warga Gemolong, Sragen.
Kalau menurut Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar, anjing-anjing tersebt diangkut dari Subang, Jawa Barat, dengan kondisi cukup mengenaskan karena dimasukkan ke dalam karung dan diikat dengan tali rafia. Ada yang bahkan diangkut dalam kondisi tergantung dan terikat.
“Dari hasil pemeriksaan sementara, mereka berasal dari Subang dan menuju ke Solo. Kami masih dalami hal ini,” ungkap Irwan Anwar sebagaimana dilansir dari Cnn, Kamis (7/1).
Temuan ini pun kembali menguak pertanyaan yang sebenarnya sudah muncul sejak lama, yaitu mengapa kuliner daging anjing cukup populer di Solo Raya? Maklum, daging hewan ini cukup nggak lazim dikonsumsi.
Terkait dengan hal ini, sejarawan asli Solo Heri Priyatmoko mengungkap sejarah terkait kuliner tersebut yang ternyata sudah membudaya di sana.
“Sudah banyak kajian yang menguak masyarakat sini sudah mengonsumsi daging anjing sejak era Majapahit. Kalau pada masa itu kulinernya disebut sebagai ‘asu tugel’ yang maknanya adalah anjing dikebiri. Yang mengonsumsi nggak hanya masyarakat biasa, melainkan juga para priyayi,” jelasnyas ebagaiman dilansir dari Tribunsolo, Minggu (18/4/2021).
Kebiasaan mengonsumsi daging anjing juga masih bisa ditemui pada masa kolonial. Menurut harian Jurnalis Bromortani tertanggal 25 Agustus 1881, peredaran daging anjing dan arak bahkan sampai dikendalikan orang-orang Tionghoa dan Eropa yang ada di kawasan Solo Raya.
“Makanan itu memang sangat laris karena budaya mabuk-mabukan dengan camilan daging anjing cukup populer pada masa kolonialisme,” lanjut Heri.
Meski kini jumlah penjualnya sudah jauh berkuang, tetap saja peminat daging anjing masih cukup tinggi. Solopos, (19/7/2023) bahkan melaporkan kalau setiap bulannya, setidaknya ada 6.500 ekor anjing yang disembelih demi memenuhi kebutuhan daging anjing di sekitar Yogyakarta dan Solo.
Namun, karena semakin dianggap sebagai penganan yang kontroversial, penjualnya biasanya memakai nama samaran agar nggak terang-terangan terlihat sebagai penjual kuliner daging anjing.
Kalau nggak disebut dengan ‘sengsu’, terkadang penganan yang mereka jual diberi nama ‘sate jamu’. Kesannya seperti berjualan satai dengan minuman tradisional, padahal sebenarnya yang dijual adalah satai daging anjing. Selain itu, terkadang kamu juga bakal menemukan nama 'guguk' atau bahkan 'scooby doo' sebagai nama samaran dari kuliner tersebut.
Di kawasan Solo, aturan yang melarang peredaran daging anjing secara resmi memang belum benar-bener terbentuk meski pemerintah setempat sempat pengin membuatnya pada September 2022. Bisa jadi, hal ini juga jadi penyebab tempat makan yang menyajikan daging anjing masih eksis di sana.
Semoga saja, aturan tersebut bisa segera dibuat agar bisa menyusul Kota Semarang, Purbalingga, Brebes, Salatiga, Karanganyar, dan Sukoharjo yang sudah secara resmi melarang konsumsi daging anjing. Setuju, Millens? (Arie Widodo/E05)