Inibaru.id – Warung Mbah Rakinem sudah mulai ramai saat nasi tumpang koyor hangat yang saya pesan tersaji. Beruntung saya datang lebih pagi, sehingga nggak perlu menjadi bagian dari antrean panjang di warung kenamaan yang ada di Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga itu.
Seperti nasi megono di Pekalongan atau nasi liwet di Solo, nasi tumpang koyor juga menjadi salah satu menu sarapan wajib di Salatiga. Maka, nggak heran kalau masakan bersantan yang mudah ditemukan di berbagai sudut kota itu selalu ramai pembeli sejak pagi, terlebih untuk warung-warung terkenal.
Nah, di antara seabrek tumpang koyor di Salatiga, Tumpang Koyor Mbah Rakinem termasuk salah satu yang melegenda. Jumiati, putri bungsu Rakinem yang saat ini meneruskan usaha sang ibu mengatakan, mereka sudah berjualan sejak 1950, bahkan jauh sebelum itu.
"Sebelum bikin warung pada 2009, ibu jualan jalan kaki, rutenya dari rumah ke pasar," terang Jumiati saat mengangsurkan seporsi tumpang koyor kepada saya, belum lama ini. "Cara itu rupanya bikin pelanggan kami banyak. Mereka sampai sekarang masih setia sarapan di sini, meski ibu sudah tiada."
Didukung Para Pelanggan Lama
Sriwiji, salah seorang pelanggan tetap Tumpang Koyor Mbah Rakinem mengungkapkan, sarapan tumpang koyor sudah menjadi kebiasaan lama yang telah dia lakukan sejak puluhan tahun silam. Hingga kini dia mengaku masih rajin datang ke warung Rakinem untuk membungkus tumpang koyor.
“Sering. Saya sudah langganan sejak 1992, sewaktu Mbah Rakinem masih jalan muter desa memikul dagangannya," ujar perempuan yang sehari-hari bekerja pada sebuah lembaga pemerintahan tersebut. Dia mendapatkan pesanannya nggak lama setelah pesanan saya disajikan.
Kendati saat ini juru masak dipegang Jumiati setelah Rakinem mangkat setahun lalu, Sriwiji nggak pernah mempermasalahkannya. Dia merasa nggak ada yang berubah dari masakan bercita rasa pedas gurih tersebut.
Hal serupa juga diungkapkan Kotaken. Lelaki yang tiap minggu pantang absen sarapan di Tumpang Koyor Mbah Rakinem itu juga membenarkan bahwa masakan sang penerus saat ini mempunyai cita rasa yang nggak jauh berbeda dengan ibunya.
“Saya kenal baik Mbah Rakinem. Untung sekarang masakan anaknya punya rasa yang sama. Jadi, ya saya nggak berpaling," kelakar Kotaken yang datang bersama temannya, Sudianto. Keduanya tampak baru saja berolahraga, terlihat dari setelan baju dan sepatu lari yang mereka kenakan.
Banyak Pilihan Tempat
Sejujurnya, baru kali itu saya menikmati sarapan khas Salatiga ini. Namun, harus saya akui, rasanya memang ngangeni. Seporsi tumpang koyor terdiri atas nasi hangat yang dipadukan dengan daun pepaya rebus, kuah koyor bersantan, sambal tumpang, dan kerupuk karak.
Selain rasanya, yang paling bikin kangen dari tempat itu adalah suasananya yang rumahan banget, karena memang dibangun di samping rumah Mbah Rakinem. Warung itu dibikin menyatu dengan pawon, yang pintu dan jendelanya bisa dibuka lebar-lebar saat tumpang koyor siap disajikan.
Para pembeli mengantre di depan pintu. Kemudian, untuk yang pengin makan di tempat, di depan warung ada satu bangku dan meja panjang. Selain itu, pada selasar rumah yang menghadap halaman depan dengan parkiran nan luas itu juga ada beberapa bangku kayu dan kursi.
Oya, kalau nggak lagi ramai, kamu juga bisa menikmati tumpang koyor di pawon alias dapur sembari melihat aktivitas Jumiati yang terkadang dibantu kakaknya melayani pembeli. Kamu yang pengin bersantai lebih lama juga bisa memilih duduk lesehan atau samping rumah yang nggak dilewati pembeli lain.
Datang dengan Alasan Masing-Masing
Saya datang ke warung Tumpang Koyor Mbah Rakinem semata karena penasaran, berbeda dengan Sriwiji dan Kotaken. Mereka datang untuk merawat kenangan, menjaganya agar tetap di lidah dan hati. Bagi keduanya, tumpang koyor ya harus bikinan Mbah Rakinem.
Orang-orang seperti Sriwiji dan Kotaken ini nggak sedikit. Sebagian pembeli di warung tersebut memang merupakan pelanggan yang statusnya sudah sangat loyal. Mereka datang secara rutin dan biasanya punya cerita sendiri-sendiri terkait Mbah Rakinem atau tumpang koyor.
Sudianto, pelanggan yang datang bersama Kotaken mengungkapkan, dia cukup rajin menyambangi warung Mbah Rakinem. Minimal sekali dalam seminggu. Menurutnya, tumpang koyor di warung tersebut memiliki rasa yang sangat khas dan nggak mungkin disamai orang lain.
"Tumpang koyor di Salatiga itu punya ciri khas masing-masing. Ada yang pakai bubur, ada yang pakai nasi. Semuanya enak," ungkap Sudianto. "Namun, tumpang koyor racikan Mbah Rakinem adalah yang paling sesuai, karena pedasnya pas dan aromanya sangat menundang selera."
Cara orang menerjemahkan kata "enak" pada makanan memang akan selalu berbeda-beda. Namun, kepiawaian Tumpang Koyor Mbah Rakinem bertahan sejak 1950-an tentu saja sudah cukup menjadi bukti bahwa lokawisata kuliner legendaris asal Salatiga ini memang laik dicoba. (Kharisma Ghana Tawakal/E03)